Rabu, 07 Januari 2009

DAMPAK HP

Dampak Positif
- Komunikasi dapat terjalin dengan mudah sehingga meskipun jaraknya cukup jauh, kita dapat berkomunikasi asalkan memiliki sinyal yang baik pada saat penggunaannya.
- Dapat mencari informasi dengan mudah di web yang terdapat di dalam Hand Phone.
Dampak Negatif
- Prestasi belajar menurun
- Boros, karena uang jajannya digunakan untuk membali pulsa
- Suka membantah perintah orang tua
- Lebih menganggap bahwa Hand Phone adalah segalanya
- Lupa waktu untuk belajar
- Lupa waktu untuk sholat meskipun hanya 10 menit
- Menghentikan sholat ketika Hand Phone berbunyi

Kamis, 01 Januari 2009

QOLBU

Jangan Selalu Merasa Berdosa

Jangan terlalu merasakan dosa-dosa yang telah egkau lakukan, sehingga dapat menghalang-halangi engkau bersangka bak terhadap Allah. Sesungguhnya apabila engkau megenal Tuhanmu dengan sifat-sifat kesempuraanNya, maka engkau tidak terlalu membesar-besarkan dosamu, disisi sifat Maha RahmanNya Allah swt. Tidak ada dosa yang kecil, apabila Allah mengharapkan padamu sifat adilNya, dan tidak ada dosa besar apabila Allah mengharapkan padamu sifatNya yang penuh anugerah.”

Apabila seorang hamba merasa besar sekali dosanya terhadap Allah, setiap saat ada saja dosa yang dikerjakannya walaupun dosa-dosa kecil, maka perasaan seperti ini akan memperburuk dirinya sendiri. Ia akan menganggap Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang akan menurunkan siksaNya kepada si hamba yang berdosa. Padahal Allah Ta'ala bersifat sangat Rahman dan sangat Arif bagi siapa saja.

Sesungguhnya Rahmad dan kasih saying Allah itu lebih banyak dan lebih luas dari pada siksaNya. Sifat adil dan bijak Nya meliputi langit da bumi dengan segala isinya. Allah SWT mengetahui tentang manusia di muka bumi ini. Kemampuan ilmu dan kekuatannya. Sehingga tuangan Rahmad dan kasih Nya yang ada dipermukaan bumi ini sangat sempurna dan sangat bijaksana. Sifat Allah Ta'ala yang pemaaf dan pengampun adalah bagian dari anugerah Allah SWT kepada manusia dan semua makhluk yang ada di alam semesta.

Manusia tidak perlu berlebih-lebihan merasa dosa dan salah terhadap Allah SWT. Setelah mengetahui sifat Allah dan besarnya Rahmad dan anugerah Allah terhadap isi ala mini. Tugas seorang hamba terhadap Allah atas segala dosa-dosanya adalah kembali sadar, lalu bertobat dengan tobat yang sungguh-sungguh, dengann niat tidak akan mengulangi lagi da berharap rahmad Allah terus-menerus agar tidak tergoda dan tergelincir untuk kedua kalinya kelembah dosa (itulah yang disebut taubatan nasuha).

Sahabat Ibnu Mas'ud berucap, "Adapun hamba yang merasa dosa-dosanya seperti tingginya guung, dia kuatir kalau-kalau dosanya yang besar itu akan roboh menimpa dirinya (seperti guung yang tiba-tiba roboh menimpa manusia dibawahnya). Sebaliknya, orang yang meganggap enteg dosa dan kesalahannya yang perah diperbuat, menganggap dosa itu seperti lalat yang hinggap diujung hidungnya, ia menganggap remeh dosa yang ia perbuat, tidak akan mengganggu pikiran dan perasaannya. Seperti mudahnya ia menghalau lalat yang hinggap diujung hidungnya".

Ia menganggap Allah tidak mampu berbuat apa-apa kalau ia berbuat dosa. Atau megira tidak ada hubungannya dosa kesalahannya kepada Allah Ta'ala. Adapun orang yang berbuat dosa dan sombong, seperti tidak ada lagi yang melebihi dirinya. Sedangkan orang berdosa tidak akan menarik orang beriman untuk segera surut dari perbuatannya mendekati Allah SWT.

Cahaya Allah Dalam Hati

Ada cahaya allah yang diizinkan sampai ke hati, dan cahaya allah yang diizinkan masuk menempati hati”.

Ada cahaya Allah yang hanya menempel pada bagian luar hati, ada cahaya Allah masuk menempati di dalam hati. Yang menempel di hati itulah Islam dan cahaya yang berada di dalam hati itu adalah iman.

Cahaya Allah yang hanya menempel di hati, adalah sifat manusia yang telah menjadi muslim akan tetapi belum berkosentrasi sepenuhnya kepada Allah. Pikirannya belum utuh tertuju kepada Allah, ia masih mudah terpengaruh oleh lingkungan dan alam sekitarnya. Sedangkan cahaya yang masuk ke dalam hati, telah menjadi satu di dalam hati hamba Allah. Ia telah konsentrasi dalam imannya, jauh dari pengaruh lingkungan dan alam sekitar dan hal-hal lain yang merusak konsentrasinya.

Beberapa ulama berpendapat bahwa apabila iman itu berada di luar hati maka si hamba adalah pecinta dunia dan akhirat. Separuh hatinya mencintai Allah dan separuhnya lagi menyukai dirinya sendiri. Akan tetapi iman telah menembus lubuk hatinya, maka dunianya akan ditinggalkan serta terus menolak panggilan hawa nafsunya.

Cahaya-cahaya Ilahiyah yang masuk ke dalam hati, adakalanya tidak menemukan tempat yang sesuai dengan kedudukannya. Karena begitu banyak perkara duniawi yang berkecamuk dan meliputi seluruh permukaan hati manusia. Ketika cahaya Allah itu memasuki hati yang telah dikotori oleh masalah hidup itu, terpaksa cahaya Allah itu kembali kepada pemiliknya.

Jelas bahwa kebaikan itu tidak dapat menerima keburukan, karena kedua hal ini adalah ufuk yang tidak mungkin dipertemukan. Oleh karena itu seorang hamba Allah yang menghendaki cahaya Allah itu masuk dalam hatinya, hendaklah ia bersihkan hatinya dari kotoran yang melekat di dalamnya. Kalbu kita seharusnya tetap dalam kesucian, barulah nurullah itu masuk dan bersemi dengan utuh di dalam hati sanubari kita.

Nurullah adalah cahaya Ilahi yang ada di alam ini yang memancar secara lahir dan secara batin. Pancaran lahiriah ditebarkan kepada alam semesta, sehingga seluruh makhluk di dalamnya (tumbuhan, hewan, dan benda-benda lainnya, terutama manusia) mendapat cahaya Ilahi itu dengan merata. Pancaran nurullah itu berada pada maujud ciptaan-Nya yang menjelma pada benda-benda langit. Pancaran benda langit sebagai ciptaan Allah memberi kehidupan bagi makhluk dan benda-benda bumi.

Cahaya lahir, dari Allah untuk keperluan jagad raya ini, dan cahaya batin, adalah untuk hati dan jiwa manusia. Cahaya batin membentuk kesucian ruh untuk menghadapai godaan setan dan pengaruh hawa nafsu maksiat.

Allah SWT berfirman dalam surat Az-Zumar ayat 69, “Dan memancarlah cahaya bumi dengar nur Tuhannya. “dalam surat An-Nur ayat 22, dijelaskan, “Adapun orang yang telah Allah buka dadanya dengan Islam,maka ia ia telah mendapatkan cahaya dari Tuhannya.”[

Cahaya Diatas Cahaya

" Allah akan senantiasa memberikan bimbingan kepada orang-orang yang beriman untuk mengeluarkan dari alam kegelapan menuju ke alam yang penuh dengan cahaya yang terang benderang "

(QS.2:257).


CAHAYA DIATAS CAHAYA

Oleh : Ridwan Suhaedy S.Ag.

Adanya cahaya/sinar adalah merupakan suatu siklus keteraturan alam yang indah, dimanapun kapanpun ternyata sinar/cahaya sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup guna melangsungkan kehidupannya, sampai yang lebih spesifik lagi yaitu hati manusia bila tidak ada cahaya yang menerangi maka hati itu akan buta - tidak terlepas dari bangsa dan agama manapun, seperti : biksu, pendeta atau bahkan orang biasa, dll. Namun bagi kaum muslim sudah ada garansi/jaminan bahwa Allah akan senantiasa memberikan bimbingan kepada orang-orang yang beriman untuk mengeluarkan dari alam kegelapan menuju ke alam yang penuh dengan cahaya yang terang benderang (QS.2:257).

Sesungguhnya Allah telah mengilhamkan kepada manusia jalan yang baik/taqwa (dalam bentuk cahaya yang terpatri di dalam lubuk hati sanubari yang paling dalam = IMAN) dan buruk (fujur) dan Allah senantiasa akan menyempurnakan cahaya-Nya yang ada pada manusia bila mereka selalu mengasah/melatih untuk menggunakan segala macam ni'mat yang telah diberikan, walau orang-orang yang berada di alam kegelapan (orang-orang yang memiliki amalan/perbuatannya jauh dari agama atau yang lebih dikenal dengan istilah kafir/kufur atau berbuat musyrik/syirik) membencinya dan tidak senang bila cahaya Allah terpancar di dalam diri setiap orang yang beriman, sebagaimana firman Allah swt : "Yuriiduuna Liyuthfiuu Nuurollahi Biafwahihim Wallohu Mutimmuu Nuurihi Walau Karihal Kafirun (Orang-orang kafir/musyrik itu selalu berusaha ingin memadamkan cahaya-cahaya Allah di dalam diri manusia dengan do'a-do'a dan ucapan-ucapan mereka, akan tetapi Allah swt senantiasa menyempurnakan cahaya-Nya sehingga terhunjam lebih dalam di hati orang yang beriman kepada-Nya)". (QS.61:8).

"Kafir" adalah orang yang ingkar kepada Allah, sedang "Kufur" adalah perbuatannya, dan "Musyrik" adalah orang yang menyekutukan Allah dengan sesuatu, sedang "Syirik" adalah suatu bentuk perbuatan yang mengandung makna menduakan/persekutuan.

Banyak orang Islam yang melakukan perbuatan-perbuatan kufur dan syirik/mempersekutukan Allah tanpa disadari, salah satu contoh : seseorang yang bila mendapatkan kesuksesan atau keberuntungan, lalu dia berkata karena kegigihan dan hasil usahanya semata, maka sebenarnya orang tersebut telah melakukan suatu bentuk perbuatan yang kufur, bisa juga telah berbuat syirik, karena telah meniadakan rahmat Allah yang telah memberikannya rizqi yang berupa keberhasilan.

Jadi sangat penting sekali cahaya bagi kehidupan ini karena dengan adanya cahaya berarti terkandung pula energy di dalamnya, semakin besar dan terang cahaya tersebut berarti semakin banyak pula kandungan energynya, sampai-sampai fisikawan dunia peraih hadiah noble di bidang fisika (Albert Eistein) membuat suatu rumusan : E = MC2 yang berarti : Energy = Massa X Cepat X Cahaya, jadi sangat masuk akal rumusan ini baik secara keilmuan maupun secara tingkah laku manusia di alam jagat raya ini, contoh : bila kita melihat setiap peperangan antara Muslim dan Kafir, pada akhirnya selalu dimenangkan oleh kaum Muslimin karena dinilai lebih berEnergy/memiliki Energy yang sempurna, sebagaimana penjabaran di bawah ini dari kasus di atas :

M = massa/pasukan perang,

C = cepat dalam menghadapi tantangan lawan/musuh, dan

C = cahaya keimanan yang selalu terpatri di dalam hati para pejuang,

tapi ada pengecualian bila setiap pasukan muslim tidak memiliki nilai cahaya keimanan maka akan sama dengan kaum kafir bahkan pasukan muslim pun akan terkalahkan,bahkan lebih parah dan banyak lagi contoh lainnya.

Maka dari itu, penting sekali makna cahaya (baik hakekat cahaya maupun kiasan saja yang berupa keimanan) dalam menerangi kehidupan kita, apalagi cahaya tersebut digunakan untuk amal kebajikan seperti sistem pengobatan alternatif yang dilakukan di yayasan Nur Syifa' yaitu pasien dibimbing untuk menghidupkan hati nuraninya agar menerima getaran dan percikan cahaya Allah (Nur-Ilahi) yang sudah terkandung dalam dirinya dan yang dialirkan oleh Bpk. HM. Bambang Irawan dan Ibu Hj. Retno Dewi ke dalam diri si pasien, apalagi adanya program pembersihan dan pelatihan buka Aura yaitu dengan menghadirkan dan membangkitkan cahaya Allah yang telah ada di dalam diri sehingga menampilkan suatu gerakan-gerakan yang lembut yang seakan-akan membawa kita terbang melayang. Itulah Nur-Ilahi.

Oleh sebab itu, manfaatkanlah anugerah yang Allah telah berikan kepada kita dan berlatihlah selalu agar cahayanya lebih terang-benderang dan dapat membimbing kita menjadi Insan Kamil (manusia sempurna).

Allah swt dalam Al-Qur'an menyatakan bahwa :

"Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupuntidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu".(QS.15:35)

Wallohu a'lam

Cahaya


Print E-mail


Image Sel-sel otak manusia berjumlah sekitar 100 milyar. Banyaknya jumlah sel tersebut tidak berarti apa-apa, sebab yang menjadi ukuran kepintaran dan kebijaksanaan seorang manusia adalah sebanyak mana terjadinya interaksi arus listrik (electrical impulses) antara axon pada satu sel otak dengan dendrite pada sel otak yang lain. (Lam Peng Kwan & Eric Y K Lam, 2003). Studi empiris membuktikan bahwa dari 100 milyar sel-sel otak itu, kapasitas interaksi arus listrik dalam rata-rata otak seorang manusia modern hanya berkisar antara 6 sampai 8% saja. Sedangkan sisa 92% lagi dari 100 milyar sel-sel otak adalah daerah gelap dan terbiar bagaikan rimba belantara yang tidak pernah dijelajahi. Itu sebabnya banyak ungkapan yang menggambarkan otak manusia sebagai raksasa yang tidur atau wilayah terbesar dunia yang belum dijelajahi. (Collin Rose & Malcolm J.Nicholl, 1997).

Jika manusia modern menamakan interaksi arus listrik antar sel otak itu dengan istilah electrical impulse yang bergerak dari satu axon ke dendrite, ratusan tahun yang lalu Imam Syafi’i dan gurunya Imam Waki’ ‘mengistilahkannya’ sebagai Nurullah (Cahaya Allah). Beliau dan gurunya Imam Waki’ berkeyakinan bahwa dasar daripada pemahaman dan penyerapan yang kuat terhadap ilmu pengetahuan adalah cahaya Allah yang menerangi hati dan pemikiran. Dalam sinergi pemahaman yang sederhana bisa disimpulkan bahwa prosentase electrical impulse pada sel-sel otak manusia dapat dilejitkan dengan cara meningkatkan kapasitas cahaya Allah dalam hati dan pemikiran.

Sebuah riwayat menceritakan bahwa Imam Syafi’i pernah mengadu kepada gurunya tentang kesukarannya dalam menghafal ilmu pengetahuan. Maka gurunya Imam Waki’ menasehatinya untuk mensucikan diri dengan meninggalkan kemaksiatan. Beliau juga berpesan demikian, “Ilmu pengetahuan itu adalah cahaya Allah. Dan cahaya Allah tidak akan menyinari hati orang yang berbuat maksiat.” Setelah menjalankan pesan gurunya itu tingkat kepahaman dan hafalan Imam Syafi’i terpacu secara luar biasa. Beliau dapat mengingat hampir seluruh huruf pada buku yang dibacanya atau seluruh perkataan pada ceramah yang didengarnya.

Orang yang diterangi Allah hati dan pemikirannya digelari al-Quran sebagai Ulil Albab. Perkataan Albab adalah bentuk plural dari Lubb yang salah satu maknanya adalah akal. Maka Ulil Albab bermaksud orang-orang yang memiliki kemampuan akal yang tinggi (Ibrahim Anis, 1972). Sebutlah nama-nama ulama besar seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Ibnu Taymia, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Dengan mengimbas ‘cahaya Allah’ yang timbul dari ketakwaan, akal mereka begitu tercerahkan (enlighted) dan berhasil menemukan fenomena-fenomena alam semesta. Penemuan mereka bahkan masih menjadi sumber inspirasi dalam dunia ilmu pengetahuan hingga hari ini. Satu-satunya cara yang mereka contohkan agar ‘cahaya Allah’ berperan dalam memacu kekuatan arus listrik pada sel-sel otak adalah dengan meningkatkan ketakwaan dan meninggalkan kemaksiatan. Firman Allah:

“Dan bertakwalah kepada Allah niscaya Allah akan mengajari kamu ilmu, dan Allah Maha Mengetahui akan segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 282)

Ayat di atas merupakan rumus yang jelas dan tegas betapa solusi utama yang paling efisien untuk mengeluarkan umat Islam dari kemunduran pemikiran, ketumpulan analisa dan kelemahan ilmu pengetahuan adalah dengan mengkilapkan kembali cahaya ketakwaan dalam sanubari mereka. Inilah cara yang dicontohkan para ulama terdahulu untuk melejitkan interaksi arus listrik (electrical impulse) antara axon dengan dendrite dalam otak.

Lebih menarik lagi untuk disimak sebuah kajian empiris yang dilakukan oleh peneliti ahli dalam bidang neuropsikologi, Michael Persinger dan V.S. Ramachandran. Mereka berdua menemukan adanya ‘Titik Tuhan’ (God Spot) dalam belantara otak manusia. Lebih rinci lagi mereka menyebutkan bahwa ada sebuah area di sekitar lobus temporal otak yang bersinar saat seseorang diajak untuk berdiskusi dan merenungkan hal-hal yang bersifat keTuhanan. Area tersebut juga menunjukkan peningkatan aktivitas saat seseorang menerima wejangan rohani atau renungan keTuhanan.(Martin, Anthony Dio 2003) Seakan-akan sudah ada suatu mekanisme khusus dalam diri (otak) manusia untuk berhubungan dengan Pencipta alam semesta. Dan sesungguhnya ‘hubungan’ (atau lazim disebut dalam Islam dengan ibadah) itulah yang meningkatkan kualitas dirinya sebagai manusia dan melejitkan kemampuan akalnya.

Kita sama-sama memahami bahwa ilmu pengetahuan terhasil dari kumpulan pengalaman lima panca indra manusia (penglihatan, penciuman, pendengaran, perasa dan peraba). Seluruh apa yang dialami oleh lima indra tersebut berupa rangsangan pengalaman (impulse) diterima oleh saraf penerimaan (receptor neurone) untuk selanjutnya dianalisa oleh saraf sensor (sensory neurone). Kesemua proses ini terjadi dengan adanya interaksi arus listrik dalam sel-sel otak sehingga manusia mampu membentuk suatu kesimpulan (analisa) atau melakukan respon fisik (motoric neurone).

Sebesar mana proses interaksi arus listrik dalam otak manusia yang terjadi akibat pengalaman lima indra itu, sebesar itu pulalah daya penyerapan pengetahuan dalam otak. Maka wajarlah jika timbul perbedaan sudut pandang antara manusia yang cerdas (yang memiliki kapasitas besar pada interaksi arus listrik pada sel-sel otaknya) dengan orang awam (yang memiliki kapasitas kecil pada interaksi arus listrik pada sel-sel otaknya). Terutama dalam kemampuan menganalisa apa yang dilihat, dirasa, dan didengarnya. Firman Allah SWT:

“Perbandingan dua golongan itu seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan mendengar. Apakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran?” (Surah Hud 11: 24)

Ayat di atas mengesahkan fungsi panca indra sebagai sarana penyerap ilmu pengetahuan. Tentu yang dimaksud dengan pendengaran dan penglihatan di sini bukanlah alat indra mata atau telinga yang dimiliki oleh semua orang secara sama. Tetapi kadar kemampuan sel-sel otak dalam menganalisa pengetahuan yang dideteksi oleh indra-indra tersebut.

Jika kita yakin dengan firman Allah di atas dan percaya dengan penemuan pakar Neuropsikologi tentang ‘God Spot’, maka tentulah kita berkesimpulan bahwa pencapaian manusia dalam melejitkan kemampuan sel-sel otak sangat tergantung kepada sebanyak mana ia menyerap cahaya Allah dalam dirinya. Pada hadits Qudsi berikut dapat kita pahami betapa sebenarnya kekuatan intelektual para ulama zaman silam ternyata bertapak pada kekuatan spritual mereka dalam menambah cahaya Allah dalam diri. Rasulullah SAW bersabda, Allah SWt berfirman dalam hadits Qudsi:

“Jika HambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan melakukan hal-hal yang Sunnah, maka ia akan kucintai (Dan jika demikian) maka Akulah yang menjadi pendengaran yang ia mendengar dengannya, Aku menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya, Aku menjadi lidah yang ia bertutur dengannya dan Aku menjadi akal yang ia berfikir dengannya. Jika ia berdoa kepadaku niscaya Aku perkenankan. Jika ia meminta kepadaku niscaya Aku kurniakan. Dan jika ia memohon pertolongan kepadaKu pasti Aku tolong. Ibadahnya yang paling Aku cintai adalah kewajiban yang ditunaikannya untukKu” (Hadits Qudsi Riwayat at-Thabrani dalam kitab al-Kabir yang bersumber dari Abu Umamah)

Jelas sekali diilustrasikan dalam hadits Qudsi di atas betapa seorang hamba yang banyak melakukan ibadah Nawafil (sunnah) akan memiliki kekuatan ekstra pada penglihatan, pendengaran, karya tangan dan gerakan kaki. Bayangkanlah para ulama zaman silam yang sudah terbentuk kekuatan penglihatan, pendengaran, pembicaraan dan pemikirannya dengan cahaya-cahaya Allah. Semua interaksi panca indranya teramat kuat karena mengambil imbasan kekuatan Allah. Seluruh hasil bacaannya, hasil pengamatannya, hasil pendengarannya, hasil karya fikirnya diproses oleh sel-sel otak dengan menggunakan kekuatan cahaya Allah.

Rangkuman dari semua kekuatan itulah yang membentuk peribadi-peribadi yang unggul dalam bidang apapun yang ditekuninya. Jika ia seorang pelayar maka ia menjadi pakar ilmu pelayaran yang unggul (Vasco da Gama; tidak akan pernah menjadi manusia Eropa pertama yang sampai ke India dan Nusantara jika bukan karena menyandera pakar pelayaran Muslim bernama Ibnu Majid yang pada saat itu sudah mengarang tiga kitab ilmu pelayaran), jika ia menekuni bidang kedokteran maka ia menjadi dokter yang tiada tanding (Ibnu Sina dengan The Canon of Medicine nya masih menyisakan sisi sisi keilmuan medika yang dikaji hingga hari ini), jika ia menjadi pakar matematik maka ia mampu mengungkapkan misteri angka dan bentuk yang tidak habis digali sepanjang zaman (Trilogi dunia matematika; Al-Jabar, Aritmatika dan Logaritma ternyata ditemukan oleh al-Khawarizmi) dan jika ia menjadi negarawan maka ia menjadi tumpuan kecintaan rakyat karena membawa kesejahteraan yang tiada tara dalam sejarah bangsanya (Umar bin Abdul Aziz menjadikan rakyatnya sejahtera sehingga tidak ada lagi orang yang memerlukan bantuan).


Penulis teringat dengan kata-kata keramat yang ditoreh oleh Imam Malik pada kulit kitabnya yang monumental; al-Muwattha’, “Tidak akan sukses generasi akhir dari umat ini, melainkan mereka mengadopsi cara-cara dan tradisi yang telah mensukseskan generasi pertama.”

Kita yang hidup pada akhir zaman ini tidak perlu lagi melakukan proses ‘try and error’ dalam menciptakan keunggulan sumberdaya manusia. Tumpuan pencarian yang benar adalah pada meningkatkan serapan cahaya Allah sebanyak mungkin, yang dengan mudah kita dapati melalui ibadah-ibadah Sunnah seperti melantunkan al-Quran yang merupakan kalam Ilahi, terdiam dalam sujud-sujud tahajud yang panjang, shalat-shalat sunnah (Dhuha rawatib, dll), puasa-puasa sunnah (Senin, Kamis, puasa Asyura’, puasa Arafah, dll) serta ibadah-ibadah sunnah lainnya yang dapat menaikkan derajat kita menjadi orang yang dicintai Allah. Ingatlah betapa hadits di atas menerangkan bahwa jika Allah telah mencintai seseorang maka orang itu dapat melihat, mendengar, berbicara dan berfikir dengan kekuatan dan cahaya Allah. Inilah inti daripada kecerdasan spritual (Spiritual Quotient) yang merupakan motor penggerak terhadap kecerdasan intelektual (Intelectual Quotient) dan kecerdasan emosional (Emotional Quotient).