Sabtu, 26 Desember 2009
yuk GAbung
Hai Teman-Teman..
Ada Bisnis Menarik Nih. !!
Kita Bisa Mendapatkan Rp.277 Juta Rupiah Dengan Modal 100% GRATIS
Info Lengkapnya Kunjungi : http://www.komisiGRATIS.com/?id=bi_din02
Sabtu, 28 Februari 2009
HIKAM
Dalam
kolom ini, insyaallah kami akan membahas kitab hikam karya Ibnu
‘Athai’llah as-Sakandari. Sebelum memasuki pembahasan, kami akan
coba mengenalkan kepada pembaca tentang sosok daripada sohib
al-Hikam tersebut.
Bukanlah
hal yang mudah untuk mengetahui riwayat hidup Ibnu ‘Athailllah
as-Sakandari secara detail. Hal itu disebabkan karena jarangnya
referensi yang menuturkan tentang riwayat hidup beliau. Kalaupun ada,
itu sangat singkat dan kurang bisa mendeskripsikan sosok beliau
secara jelas.
Nama
beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin ‘Athaillah
as-Sakandari, mempunyai beberapa nama julukan seperti Tajuddin,
Turjuman al-’Arifin, dan Abu al-Fadhl. Beliau
dilahirkan di kota Iskandariyah (Mesir) tanpa diketahui secara pasti
tahun kelahirannya. Sebagian sejarahwan memperkirakan tahun kelahiran
beliau antara tahun 658 H sampai 679 H. dan mereka sepakat bahwa
beliau wafat di Cairo pada tahun 709 H kecuali Imam Sya’rani
mengatakan tahun 707 H. tapi pendapat pertama lebih kuat. Pada masa
itu pemerintahan Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik al-Bahriyah
pengganti dinasti Sholahuddin al-Ayyubi.
Beliau
seorang fakih bermadzhab Maliki, dan juga sufi;
pengikut Tarekat as-Syadziliyah yang didirikan oleh Abu Hasan
as-Syadzili. Pada mulanya beliau termasuk orang yang mengingkari
tasawuf karena terlalu fanatik terhadap ilmu fikih. Tapi kemudian
hilang keingkaran beliau terhadap tasawuf dan masuk dalam jajaran
kaum sufi setelah bersuhbah; berguru kepada Abu Abbas al-Mursi
(Murid kesayangan Abu Hasan as-Syadzili).
Setelah
wafatnya Abu Abbas al-Mursi tahun 686 H, beliaulah pewaris ilmunya
dan pembawa tongkat estafet perjuangan da’wahnya. Dalam da’wahnya
beliau sempat mengajar di Masjid al-Azhar; mengajarkan ilmu dhahir
dan batin. Dalam kitab “al-Nujum al-Zahirah” disebutkan bahwa
majlis Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari selalu ramai, karena untaian
kata yang keluar dari beliau sangat indah dan melenturkan hati yang
keras. Banyak orang yang bertaubat kepada Allah swt karena nasehat
beliau, dan banyak pula orang yang jelek akhlaknya menjadi baik
karena bimbingan beliau.
Cukuplah
sebagai bukti ketinggian ilmu beliau bahwa Taqiyuddin as-Subki yang
wafat 756 H adalah salah satu dari murid beliau yang terkenal
keilmuannya, sehinggan Ibnu Taimiyah hormat dan sering memuji
karya-karyanya. Taqiyuddin as-Subki adalah ayah dari Tajuddin
as-Subki pengarang kitab Thobaqat as-Syafi’iyah al-Kubra
(wafat 771 H). Selain Taqiyuddin as-Subki, banyak murid beliau yang
jadi ulama’ besar, seperti Abu Hasan Ali al-Qorofi dan Dawud bin
Umar bin Ibrahim as-Syadzili yang dikenal dengan nama Ibnu Bakhola.
Ibnu
‘Athoillah as-Sakandari adalah seorang tokoh terpenting dalam
lingkaran mata rantai tareqat as-Syadziliyah. karena tokoh utama
dalam tareqat as-Syadziliyah; Abu Hasan as-Syadzili tidak
meninggalkan buah karya, begitu pula khalifahnya; Abu Abbas al-Mursi.
Dari tangan Ibnu ‘Athoilllahlah muncul buah karya yang bermanfa’at
bagi kita pada umumnya dan bagi salik tareqat as-Syadziliyah
pada khususnya.
Karya-karya
beliau, dilihat dari segi tema dan tujuan sangat beragam, lebih
dari 22 kitab. Ada karya tentang sastra, fikih, nahwu, mantiq,
filsafat dan juga tasawuf. Adapun karya-karya beliau yang terkenal
adalah kitab Hikam al-’Athoiyah—insyaallah
akan kita bahas dalam kolom ini— Selain itu juga ada kitab
at-Tanwir fi Isqot at-Tadbir, Latha’if al-Minan, Miftah al-Falah
dan lain-lain.
Tentang
Kriteria ke-Tasawuf-an beliau. Syekh Ibnu “Atho adalah pembela
Tasawuf Sunni melalui madrasah Tarekat As-Sadziliyah, murni dari
ide-ide filsapat yang menyesatkan dan bersih dari keteterlibatan ke
dalam faham wihdatul-wujud, hulul dan Ittihad. Hal ini
dapat dibuktikan dengan merjuk dan membaca seluruh karya- karyanya.
Dapat
dikatakan dengan pasti, bahwa beliau pengkibar bendera Tasawuf Islam
SunniAmali, murobi generasi ke 3 dari murobi Tasawuf Amali Tarekat
as-Sadziliyah (setelah pendirinya Imam Sydzili dan Imam Abu
al-Abbas al-Mursy) yang mempunyai tujuan awwalan wa akhiran
mendidik moral dan tarbiyah ruhiyah (spritual).
Adapun
kriteria kitab al-Hikam sebagai sebuah karya sufi, ia betul-betul
mempunya ciri jelas yaitu: (1) bersifat “Simbolis” dimana
al-Hikam dalam mengungkapkan kandungannya menggunakan istilah-istilah
kaum sufi, (2) meskipun tanpa menyertakan dalil-dalil ayat dan
Hadis, namun seluruh kandungan al-Hikam telah teruji tidak
bertentangan dengan Alqur’an dan Sunnah, (3) memiliki arti
ganda, keuntungan lingual dimana ia diungkap ke dalam bahasa
singkat-padat dan keuntungan analisa dan pendalaman makna yang
ditangkap melalui simbolis-simbolis tersebut, (4) secara umum redaksi
al-Hikam dalam bentuk nasehat yang diarahkan kepada para murid
tarbiyah Tasawuf, (5) ungkapan (khatarat) pengalaman dan intuisi yang
terlintas dalam dirinya tidak direnung2kan dan dibuat-buat
Jumlah
hikmah itu sebanyak 264 hikmah selain surat-menyurat untuk para
ikhwan dan munajat beliau.
HIKMAH
1
“Merupakan satu ciri ketergantungan
kepada amal (aktifitas) - rendahnya rasa harap (kepada Allah) ketika
muncul ketergelinciran (kesalahan)”.
Interpretasi:
Salah satu ciri bahwa seorang aktifis
berpegangan, bergantung dan cocdong kepada amalnya - yaitu,
melemahnya harapan kepada rahmat Allah swt ketika mengalami
ketergelinciran dan kesalahan pada dirinya.
Hikmah ini tidak berarti anjuran
meninggalkan ibadah, bahkan merupakan satu stimulasi bagi para
pencari kebenaran (insan tarbiyah) agar sungguh-sungguh dalam
melakukan taat dan perbuatan baik, serta meningkatkan semangat untuk
berpegangan kepada karunia Allah saja daripada bergantung kepada
aktifitas yang dilakukannya, sehingga ketika ia melakukan serupa
ketergelinciran atau kekeliruan, harapannya kepada rahmat Allah tidak
pupus dan tidak putus asa mengharap magfirah-NYA.
Allah swt berfirman: “Dan DIA-lah yang
menerima taubat dari hamba-NYA, dan memaafkan kesalahan-keslahan dan
mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. 42:25).
Rasulullah bersabda: “Tidak
sekali-kali seseorang itu masuk surga karena amalnya, mereka
(sahabat) bertanya: juga engkau ya RAsulullah..?, Nabi saw menjawab:
tidak juga aku, melainkan Allah telah melindungiku dengan
rahmat-NYA”. HR. Bukhari - Muslim.
Maka jika seorang insan tarbiyah mengalami
krisis harapan dan keputus asaan akan rahmat Allah swt, serupa
ampunan (magfirah), limpahan cahaya taubat, perubahan diri kepada
kebaikan dan peningkatan moral-spritual, perlu ditandai bahwa dirinya
termasuk orang-orang yang bergantung kepada amal ibadah atau
aktifitas kebaikan yang dilaukannya, dari pada bergantung kepada
Allah swt Yang Maha Pencipta makhluk dan segala amal perbuatnnya,
termasuk kemampuan dan kekuatan dalam melakukan ketaatan tersebut.
Maka siapa yang bergantung kepada bumi bukan kepada langit berarti
cahaya harapnya telah mati.
HIKMAH
2
“Keinginanmu
untuk ‘Tajrid’ (murni ibadah, taat dan dakwah) sedang Allah swt
mendudukanmu dalam asbab (sibuk dalam urusan dunia perniagaan)
merupakan dorongan halus dari syahwat (nafsu).
Dan keinginanmu pada
‘Asbab’ sedang Allah mendudukanmu dalam Tajrid, merupakan
kemerosotan semangat yang tinggi ”.
Interpretasi:
Maksud
Asbab di sini adalah sesuatu yang berhubungan dengan
tujuan dunia perniagaan yang ingin dicapainya, sebaliknya Tajrid
berkecendrungan hidup semata untuk ibadah, taat dan dakwah.
Oleh karena itu barangsiapa yang telah
dimuliakan Allah swt dalam dunia asbab dan ingin meninggalkannya,
hal itu merupakan keinginan halus syahwatnya. Karena
salah satu bentuk keinginan syahwat bersikap tidak sejalan dan
menyalahi iradah Allah; dikatakan halus karena
ia tidak bermaksud untuk memperoleh keuntungan dunia, namun
untuk taqarrub kepada Allah melalui kondisi yang menurut
dugannya lebih tinggi seperti tajrid, namun ia lupa dan tidak
memberikan etika (adab) yang patut kepada Allah swt melalui posisi
yang didudukinya dan justru ia malah menginginkan kedudukan lebih
tinggi yang sebenarnya tidak sesuai dengan situasi dan kondisi
waktunya.
Sebaliknya, jika dia telah dimuliakan Allah
berada di posisi tajrid, lalu dia berkeinginan untuk terjun ke
dunia Asbab sebagai sarana taqarrub kepada Allah, itu
merupakan kemerosotan sebuah semangat, sikap tidak beradab dan
keberpihakan kepada dorongan syahwat. Karena tajrid adalah
sebuah keududukan tinggi yang diberikan Allah kepada para hamba yang
bertauhid dan mengenal-Nya.
Allah swt menghendaki kita - wahai insan
tarbiyah- untuk tetap menjadi diri kita sendiri; tidak menjadi orang
lain dan beradab, beribadah serta taqarrub apapun posisi dan
kedudukan yang diberikan Allah kepada kita. Seperti kedudukan
penuntut ilmu-ilmu agama wahai mahasiswa Islam Al-Azhar. Camkanlah !!
HIKMAH 3
“Semangat
yang seefektip apapun tidak akan menembus dinding takdir”
Intepretasi
Semangat yang memiliki kekuatan efektipitas
konkrit kepada berbagai hal, tidak akan melewati atau keluar dari
qadla dan qadar Allah swt, yakni semua yang terjadi dampak dari
semangat luar biasa tersebut adalah semata karena iradah Allah swt,
bukan karena kekuatan atau kecepatan efektipitas sebuah semangat luar
biasa itu sendiri.
Demikian itu, karena sebesar apapun
semangat-semangat tadi hanyalah merupakan hukum sebab akibat yang
tidak memiliki efek mutlak, hanya Allah swt sajalah Pemilik Tunggal,
Pencipta semangat dan hukum sebab-akibat itu.
Di dalam hikmah ini
seolah Ibn ‘Athoilah ingin menitip pesan “Wahai manusia!
Berusahalah sesuai dengan berbagai keinginan dan kemampuan anda, cari
hasil yang anda harapkan, lakukan sebab-sebab sesuai dengan porsinya.
Namun ketahuilah sebab yang anda kerjakan itu bagaimanapun canggihnya
menurut anda, ia hanyalah sekedar usaha belaka yang tidak akan
terlaksana jika tidak sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh
Allah Swt.
Perlu diketahui bahwa persoalan natijah,
efek atau hasil itu sama sekali bukan tugas dan syugul
kita, makhluk ini tidak dibebankan (taklif) untuk menciptakan
dan melakukan sebuah hasil. Semua itu masuk ke dalam tugas atau
koridor Kekuasaan Tunggal Yang Maha Pencipta Semua Alam. Makhluk ini
hanya diberikan kekuasaan berbuat, bekerja dan berkarya untuk
melakukan berbagai perubahan hidup menuju kebaikan dan kesempurnaan,
selanjutnya Allah swt sajalah yang memberikan efek, efikasi, otoriti
atau efisiensi mutlak dari semua ambisi aktifitas di atas.
Jika kita telah memahami etika dan aqidah
ini, maka hikmah di atas dapat menjadi sebuah stimulan dan motif kuat
untuk berbuat, bekerja dan berkarya sebaik-baiknya secara maksimal
dan optimal, namun jiwa dan hati ini tidak perlu merasa letih
terbebani oleh hal-hal yang bukan menjadi taklipnya, sehingga tetap
merasa tenang, ithmi,nan dan bahagia apapun kondisinya yang
terjadi. “Arih nafsaka min hadza at-tadbir, fafham”.
HIKMAH
4
“Lepaskan hatimu
dari tadbir (be-ban pengaturan), sesuatu yang ditangani
oleh selainmu (Allah) tentang (urusan) mu jangan engkau bebankan
kepada dirimu sendiri”
Interpretasi
Tadbir, secara etimologi: memandang
sesuatu serta berbagai dampaknya. Adapun Tadbir menurut
etimologi sufi adalah memastikan -bukan
bertawakal- suatu perkara yang diperkirakan terjadi dengan rasa harap
atau cemas.
Dalam hal ini, tadbir itu terbagi tiga: (1)
Tercela. Jika memperkirakan sesuatu disertai rasa kepastian dan
kebulatan baik perkara agama atau dunia. Sikap ini merupakan
Qillatil-adab, serta keletihan yang akan segera diperolehnya;
karena sesuatu yang menjadi penanganan Allah tentang dirimu, maka
tidak dapat engkau tangani sendiri, justru malah akan membuat hidupmu
menjadi sedih dan keruh. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya
Allah membuat rasa rehat (lega) pada sifat ridla dan yakin”.
Imam as-Sadzelai berkata: “Janganlah kamu
sekali-kali menentukan pilihan (mendikte) untuk kepentinganmu,
memilihlah untuk tidak memilih (tawakal dengan pilihan Allah setelah
berupaya maksimal dan optimal) segera lari dari sikap pilih-pilih dan
segala sesuatu kepada Allah swt, karena Allah swt menciptakan dan
memilih menururt kehendak-NYA.
(2). Dianjurkan, yaitu tadbir terhadap
kewajiban yang ditaklifkan dan ketaatan yang dianjurkan dengan penuh
berserah diri kepada kehendak Allah swt serta memandanga kepada
qudrah-NYA. Inilah yang disebut niat yang soleh. Rasulullah saw
bersabda: “Niat seorang mukmin itu lebi baik daripada amalanya”.
Ibrahim bin al-Hawwas berkata: Janganlah kamu memaksakan diri akan
hal-hal telah dijamin untukmu.
(3). Boleh. yaitu Tadbir dalam
urusan dunia dan perkara kehidupan rutinitas, disertai sikap berserah
diri kepada kehendak-NYA dan memandang kekuasaan-NYA tanpa bergantung
kepada sesuatu. Rasulullah saw bersabda: “Tadbit itu separoh
kehidupan”. Wallahu’alam.
HIKMAH 5
“Kesungguhanmu (ijtihad) terhadap hal-hal yang
telah dijamin (oleh Allah), dan kekuranganmu (taqsir) dalam
memenuhi kewajiban terhadap hal-hal yang dituntut (oleh Allah) adalah
merupakan bukti redupnya cahaya hatimu (bashirah)”.
Interpretasi:
Kata Ijtihad dalam sesuatu adalah upaya sungguh-sungguh dan
maksimal dalam mencari sesuatu, dan kata Taqsir adalah
perbuatan yang tidak sempurna atau banyak kekurangannya, sedangkan
kata Bashirah adalah pandangan hati, seperti halnya kata
bashar pandangan mata.
Karena pandangan mata hati hanya melihat kandungan-kandungan makna,
sesuatu yang lembut, qadim (lama) dan Pencipta alam, sedangkan mata
kepala melihat hal-hal yang dapat diindra saja, yang tampak jelas,
sesuatu yang baharu dan hanya melihat kepada alam semesta saja.
Oleh karena, jika Allah berkehendak membukakan mata hati seorang
hamba, maka Allah akan membuatnya sibuk dalam lahiriyahnya dengan
melakukan berbagai khidmat (dalam hidup) kepada Allah, sedang
bathinnya dipenuhi rasa cinta kepada-NYA. kemudian, jika rasa cinta
dalam jiwa dan bentuk khidmah dalam lahiriyahnya itu semakin
membesar, maka cahaya hatinya semakin kuat sehingga mendominasi
pandangan mata kepalanya, selanjutnya cahaya mata kepala itu perlahan
hilang tenggelam ke dalam cahaya mata hatinya, akhirnya membuat orang
tersebut hanya melihat apa-apa yang dilihat oleh mata hatinya
saja.
Sebaliknya, jika Allah hendak merendahkan seorang hamba, maka dibuat
sibuk lahiriyahnya dalam berkhidmat kepada dunia dan sekaligus sangat
mencintai dalam bathinnya, dan hal ini akan terus demikian sehingga
meredupkan dan mendominasi cahaya mata hatinya, maka setelah itu yang
dilihat dan dilayaninya hanyalah menurut pandangan mata kepalanya
(bukan menurut kata hatinya).
Dalam kondisi seperti ini seseorang itu akan bersusah payah mencari
apa-apa yang sebenarnya telah dijamin dan rezeki yang telah dibagi
oleh Allah swt; dan taqsir (kurang sempurna melakukan kewajiban atau
tidak memenuhinya) dalam hal-hal yang justru dituntut atau diminta
oleh Allah swt, yaitu kewajiban melakukan ibadah baik berbentuk
ibadah murni (ibadah khusus) atau aktifitas hidup ini sebagai ibadah
umum.
Allah swt berfirman: “Perintahkan keluargamu melakukan shalat dan
bersabarlah atasnya, Kami tidak menanyakanmu (membebankan) akan
rezekinya, Kamilah yang memberikan rezekimu”. (QS. Thah:132).
Maksudnya: laksanakanlah semua sebagai tanda khidmah kepada-KU, dan
AKU-lah yang akan melaksanakan dua hal untukmu: (1) sesuatu yang
telah dijamin untukmu, maka janganlah kamu meragukan-nya. (2) Sesuatu
yang diminta atau dituntut darimu, maka janganlah kamu lalaikan. Maka
barangsiapa yang menyibukan dirinya dengan sesuatu yang telah dijamin
dan melupakan sesuatu yang dituntunya, berarti ia seorang yang sangat
bodoh dan lalai.
Betul apa yang dikatakan oleh Sykeh Ibrahim al-Khawas: bahwa seluruh
ilmu itu hanya terdapat dalam dua kata: (1) Janganlah kamu
menyusahkan diri dalam hal yang telah dicukupi, dan (2) jangan
menyia-nyiakan apa-apa yang telah dituntut.
HIKMAH 6
“Janganlah
tertundanya uluran pemberian Allah, padahal (engkau)
bersungguh-sungguh dalam berdo’a menyebabkan keputus asaanmu,
karena Allah telah menjaminmu pengkabulan (ijabah) doa dalam hal-hal
yang Allah pilihkan untukmu bukan yang engkau pilih untuk dirimu dan
di waktu yang Allah pilih bukan waktu yang engkau pilih”
Interpretasi
Janganlah tertundanya waktu pemberian
(Allah) yang engkau inginkan, disebabkan engkau telah
bersungguh-sungguh & terus-menerus berdoa, membuatmu berputus asa
terhadap pengabulan do’amu. Karena sebenarnya Allah swt telah
menjamin do’amu dengan Ijabah, firman-NYA: “Berdoalah Aku akan
mengabulkan untukmu” dan “Aku memenuhi do’a orang yang
berdoa ketika ia berdo’a”.
Namun hal itu menurut pilihan-NYA, bukan
menurut yang engkau pilih sendiri. Sebab Allah lebih mnegetahui
apa-apa yang menjadi kemaslahatanmu, boleh jadi engkau meminta
sesuatu dan dicegahnya adalah merupakan kebaikan bagimu, maka
pencegahan itu justru sebuah pemberian atau pengkabulan. Allah
berfiman: “Boleh jadi engkau tidak menyukai sesuatu padahal ia
lebih baik untukmu, dan boleh jadi engkau menyukainya padahal ia
buruk untukmu, Allah Maha Mengetahui sedang engkau tidak mengetahui”.
Demikian, Allah telah menjaminmu Ijabah
menurut waktu yang dipilihkanNYA, bukan waktu yang engkau pilih
sendiri. Firman-Nya (Hadis Qudsy): “Hambaku, taatilah semua
perintahKU, dan janganlah engkau mengajari-KU (mendikte) apa-apa yang
menjadi kemaslahatanmu”.
Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah
seorang berdo’a, melainkan Allah mengabulkan do’anya, atau
diselamatkan dari satu keburukan atau digugurkan (ampun) sebagian
dosanya selama tidak berdoa untuk dosa atau memutuskan silaturahim”.
Firman-NYA: “Dan Tuhan-mulah yang
menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya sendiri,
sekali-kali tiada ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha
Tinggi dari apa yang mereka persekutukan”.QS. 28:68.
HIKMAH 7
“Tidaklah
membuatmu ragu dalam janji (Allah) karena tidak terjadi sesuatu yang
dijanjikan, meskipun waktunya telah ditentukan, agar hal itu tidak
menjadi kecacatan mata hatimu dan memadamkan cahaya lubuk hatimu ”
Interpretasi:
Allah SWT tidak akan menyalahi janji,
sesuatu yang telah Allah janjikan meskipun waktunya ditentukan
kemudian tidak ter-laksana janji tersebut, janganlah membuatmu
menjadi ragu dalam kebenaran janji-NYA; karena boleh jadi janji
tersebut masih tergantung kepada beberapa sebab dan syarat-syarat
tertentu, Allah memberikan efektivitas terhadap aktifitas sebab-sebab
tersebut, maka seorang hamba hanya harus mengakui takdir Allah ,
beradab kepada-NYA, penuh kepercaan total dan ada keraguan serta
tidak goyah keakinan kepada-NYA. Maka barangsiapa yang memiliki sifat
ini ia patut disebut sebagai arif billah (mengenal Tuhannya),
yang selamat mata hati dan bercahaya lubuk hatinya, jika tidak maka
ia sebaliknya.
Karena manusia sebagai hamba tidak akan
mengetahui bilakah Allah akan mengabulkan janji-NYA atau menururnkan
karunia-NYA, sehingga ketika seseorang melihat tanda-tanda ia mengira
bahwa telah tiba saatnya, padahal boleh jadi Allah masih menunggu
terpenuhi syarat dan sebab-sebab tertentu.
Hal ini terjadi pada masa perjanjian damai
udaibiyah, ketika Rasulullah saw menceritakan mimpinya kepada para
sahabat, sehingga mereka mengira bahwa tahun itu mereka akan dapat
masuk Makkah dan melaksanakan umroh dengan aman dan sentosa, (mimpi
beliau terera dalam QS. al-Fathi ayat 27). ketika gagal tujuan umroh
tersebut karena dihalau oleh orang-orang Quraisy dan terjadi penanda
tangan perjanjian Hudaibiyah, sebagaian besar para sahabat tampak
kecewa, maka Umar r.a mengajukan beberapa pertanyaan, dengan penuh
keyakinan yang segar Rasulullah saw menjawab: “Aku hamba Allah
dan Rasul-NYA, sekali-kali Allah tidak akan mengabaikan-ku”.
(lih. QS. 2:214)
HIKMAH 8
“Apabila telah
dibukakan untukmu satu pintu perkenalan (ma’rifat) - maka pada saat
itu janganlah engkau perdulikan menurunnya amalmu, karena tidaklah Ia
membukakannya melainkan Dia ingin memperkenlan diri kepadamu,
tidakkah kau tahu bahwa perkenalan itu datang daripada-NYa, sedangkan
amal itu engkau yang menghadiahkannya kepada-NYA, di manakah letak
perbanding-an (apakah sama) antara hadiahmu dengan pemberian-NYA
kepadamu”.
Interpretasi
Wahai insan tarbiyah, Allah Maha Pembuka
dan Maha Tahu, jika Allah membukakanmu satu pintu untuk mengenal-NYA,
seperti datangnya musibah, sakit dan kesusahan -maka ketahuilah hal
itu satu sebab untuk ma’rifat kepada Allah melalui sifat-sifatnya,
seperti Maha Lembut, Maha Perkasa, Maha kasih dan lain-lain- maka
jangnlah perduli karena menurun atau berkurang amalmu pada saat itu,
karena Allah swt berfirman dalam Hadis Qudsyi: “Jika Aku
menguji hamba-KU yang mukmin dengan satu cobaan, kemudian ia bersabar
dan tidak mengeluhkan-KU kepada para penjenguknya, maka Aku ganti
dagingnya dengan daging yang lebih baik dan darah dengan yang lebih
baik, jika Aku bebaskan (dari penyakit), maka Aku bebaskan dan tidak
ada dosa padanya, jika Aku wafatkan maka ia akan menuju Rahmat-KU”.
HR. Malik ra.
Yang disapa oleh Hadis di atas tentunya
adalah seorang yang memliki kesadaran hati dengan dzikir kepada Allah
ketika ia ditimpa berbagai musibah dan cobaan -bukan seorang gafil
(lalai) yang murka dan berkeluh kesah terhadap musibah-. Sudah pasti
bahwa musibah tersebut akan menghambat amal ibadah sehingga menurun
(secara kwantitas), maka pada saat itu jangan terlalu dipikirkan
kehilangan amalan fisik tersebut, karena itu hanya sebuah sarana
untuk (meningkatkan) amalan hati. Berbahagialah wahai insan tarbiyah
ketika datang perkenalan Yang Maha Perkasa (Jalal) dan Musibah Yang
Maha Pemaksa (Qahhar). Karena amalan sedikit bersama ma’rifat itu
lebih baik dari amalan banyak tanpa ma’rifat.
HIKMAH 9
“Beraneka-macam
jenis amal perbuatan, disebabkan bermacam-macam lintasan dalam
kondisi jiwanya”.
Interpretasi
Banyaknya -secara
kwanti-tas- aktifitas fisik itu disebabkan banyaknya -secara
kwalitas- aktifitas spritual seseorang. karena bisikan, atau sesuatu
yang datang ke dalam hati, jiwa dan ruh seseorang ada serupa lintasan
kegelapan dan lintasan cahaya kebenaran. Berarti aktifitas fisik
mengikut kepada kondisi hatinya. Banyak dan kuatnya kondisi
atau aktifitas yang terdapat di dalam hati seseorang, sekuat itu pula
aktifitas yang dilahirkan oleh fisiknya.
Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya
ada segumpal daging di dalam fisik, jika baik maka baik pula seluruh
(aktifitas) fisik itu, jika buruk, maka buruk seluruh fisiknya,
ketahuilah ia adalah qalbu”.
Itu sebabnya, pada fenomena kesalehan umat
ini berbeda-beda, ada yang disebut ahli Zuhud, wara’, dan ‘Arif
billah. dll.
Dalam hal ini Syekh Zarruk dalam Qaidahnya
berkata: Tidak harus perbedaan cara menunjukan perbedaan tujuan,
bahkan boleh jadi sama dan satu tujuan meskipun caranya berbeda,
seperti, ibadah, zuhud, dan ma’rifat adalah merupakan cara-cara
untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun semuanya tumpang tindih,
maka seorang yang disebut ‘Arif billah harus memiliki ibadah dan
sifat zuhud, jika tidak maka kema’rifatannya tidak berarti apa-apa,
seorang ‘Abid (ahli Ibadah) harus memiliki kema’rifatan dan
zuhud, karena tidak sempurna ibadah tersebut tanpa dua hal di atas,
demikianlah giliran seorang Zahid, tidak ada zuhud tanpa adanya
ma’rifat dan ibadah, karena hal itu dianggap sebagai seorang
penganggur atau perusak. Maka barangsiapa yang lebih dominan amal
fisiknya disebut ahli Ibadah, atau lebih dominan kebersihan hatinya
dalam hal tidak bergantung kepada dunia, disebut Zahid, demikian jika
menyaksikan kehidupan ini adalah sebuah penanganan Allah maka ia
disebut ‘Arif billah. Namun ketiga-tiganya disebut Sufi”.
HIKMAH 10
“Amal
perbuatan itu umpama sebentuk kerangka, sedang ruhnya adalah adanya
inti keikhlasan di dalamnya”.
Interpretasi
Semua aktifitas
kehidupan muslim itu umpama bayang-bayang dan kerangka tubuh, sedang
ruhnya adalah keikhlasan. Sebagaimana kerangka tersebut tidak
berdiri tanpa adanya ruh, jika tidak ia akan menjadi sebuah bangkai
yang rapuh, demikian halnya, aktifitas fisik dan qalbu itu tidak akan
terjadi melainkan dengan adanya keikhlasan di dalamnya, jika tidak ia
hanya sebuah kerangka dan bayangan yang kosong tanpa faedah.
Allah SWT berfirman: “Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus,”.
(QS. 98:5) dan: “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan
keta’atan kepada-Nya”. (QS. Azzumar:2).
Ikhlas terdiri atas tiga tahapan: (1)
Ikhlas awam. yaitu, berbuat karena Allah semata, namun masih
menginginkan bagian dunia dan akhirat, seperti kesehatan dan kekeyaan
juga kemegahan di surga; (2) Ikhlas Khusus. yaitu, hanya menginginkan
bagian akherat tanpa memperdulikan bagiannya di dunia; (3) Ikhlas
khawasul khawas. yaitu, melepaskan seluruh keinginan atau bagian
kesenangan serta balasan dunia dan akherat, persembahan mereka
semata-mata hanya untuk merealisasikan ubudiyah sekaligus
melaksanakan hak dan perintah Ke-Tuhanan (Rububiyah).
Sebagian para murabi Tasawuf berkata:
“Perbaiki amalmu dengan keikhlasan, dan murnikan keikhlasanmu
dengan melepaskan diri dari segala daya dan kekuatan”.
Amal pertama: “Iyyaka na’budu”
adalah amal lillah (upaya hamba dalam menyembah Allah), kedua:
“Iyyaka nasta’in” adalah amal billah (penanganan Allah dalam
beribadah, hal ini dampak dari mujahadah). karena tidak ada daya
dan kekuatan kecuali dari Allah swt.
Itu sebabnya Ibnu Faridl melantunkan sebuah
syair: “Tidaklah aku meminta surga karena kenikmatan-nya.
Melainkan aku menginginkan surga karena ingin melihat-MU”.
inilah inti keikhlasan, yaitu pemurnian Tauhid dalam seluruh
aktifitas hidup.
HIKMAH
11
“Pendamlah
dirimu di tanah persembunyian, karena sesuatu yang tumbuh tanpa
ditanam maka buahnya tidak sempurna ”.
Interpretasi:
Sebagai pemula dalam menekuni suatu bidang,
hendaklah dimulai dengan melakukan pendalaman terlebih dahulu, tidak
tergesa dan berambisi untuk masyhur dan populer, karena ia
sebuah penyakit moral sosial. demikian halnya dalam ibadah kepada
Allah, hendaklah melakukannya dengan ikhlas. untuk memperoleh sifat
ikhlas, ia harus menanamkan sifat itu dalam dirinya melalui proses
tarbiyah. Dalam perjalanan tarbiyah, seorang insan tarbiyah (murid)
sejak awal harus melakukan latihan. Salah satu langkah tarbiyah
adalah seperti kandungan dalam hikmah ini.
Tidak ada sesuatu yang lebih berbahaya bagi
insan tarbiyah dari pada cinta populeritas, karena hal itu merupakan
penyakit nafsu yang harus diperangi. Maka kuburlah dirimu seperti
mengubur mayat dalam tanah dan tidak berinteraksi dengan motif-motif
populeritas, karena cara penyembunyian ini dapat membantu menanamkan
sifat ikhlas. Dan pada hakikatnya cinta populeritas, justru menjadi
sebuah hambatan populeritas itu sendiri.
Cinta populeritas adalah lawan dari sifat
Ikhlas dan tawadlu. Apabila seseorang masuk dalam tarbiyah ruhiyah
setelah menjadi seorang yang populer, ia akan mengalami kesulitan dan
kontradiksi dengan ubudiyah yang menuntut kemurnian ikhlas dan
tawadlu. Ibrahim bin Adham ra. berkata: Allah tidak membenarkan
seorang yang cinta populeritas. dan Imam Sahal ra ketika ditanya:
Apakah sesuati yang paling berat bagi nafsu, beliau menjawab: Ihklas,
karena ia sebuah kemurnian yang tidak mengingini sesuatu.
Seorang berkata kepada Bisyr bin
al-Harits: nasehatilah aku, ia berkata: Simpanlah nama baikmu,
perbaiki makananmu. Dalam kesempatan lain beliau berkata: Seorang
yang senang dikenal dan puji orang tidak akan merasakan manisnya
aktifitas ukhrawi.
Umpama sebuah pohon, jika akarnya tidak
dalam terpendam ke tanah, maka buahnya kurang sempurna. Demikian,
Ibadah kepada Allah, tidak akan membuahkan apa-apa tanpa adanya
ke-Ikhlasan, maka pendamlah dirimu dalam tanah persembunyian (khumul)
untuk mencapai keikhlasan.
HIKMAH 12
“Tidak
ada sesuatu yang memberi manfaat kepada hati sebagaimana Uzlah untuk
memasuki medan tafakur”
Interpretasi
Perbedaan
hikmah ini dengan yang sebelumnya ada pada interaksi seorang murid
dengan lingkungan sosialnya. Kalau dalam hikmah sebelumnya diajarkan
untuk memilih tidak dikenal dari masyarakat, maka dalam hikmah kali
ini dia diajarkan untuk mengasingkan diri, dan ini lebih spesifik
lagi dibanding yang pertama. Dan keduanya ini harus dilakukan
seseorang yang tengah mengikuti manhaj tarbawi.
Lafadz
uzlah disitu tidak berarti mutlak harus mengasingkan diri dari
dunia dengan lari ke gua-gua atau menghindarkan diri dari interaksi
dengan sesama manusia karena hal ini jelas bertentangan dengan fitrah
manusia normal. Karena inilah Ibn Athoillah menggunakan lafadz
nakirah, yang berarti lebih umum cakupan maknanya dari
ma’rifah.
Uzlah
yang diajarkan beliau adalah kondisi yang
digunakan seorang murid dalam memikirkan hal yang berguna bagi
manusia untuk mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Ini bisa terbaca
dalam paruh kedua dari hikmah diatas. Ini bisa berupa membaca Al
Qur’an dengan meresapi maknanya, atau membaca sejarah Rasulullah
Saw atau bisa juga dengan proses evaluasi diri perjalanan hidupnya
yang kemudian bisa membangkitkan semangatnya untuk berbuat baik lebih
banyak lagi. Ini adalah bentuk dari uzlah yang dimaksud.
Contoh
konkretnya adalah yang dikerjakan Rasulullah Saw sendiri, sebelum
turun wahyu beliau sering uzlah ke gua hira untuk munajat
kepada Allah, tapi setelah turun wahyu apakah beliau menghentikan
uzlahnya itu? Jawabannya adalah tidak, uzlah tetap
beliau kerjakan namun dalam bentuk lain. Uzlah beliau setelah
turun wahyu tidak lagi di gua hira, tapi lewat tahajud yang beliau
lakukan tiap malam.
Kesimpulan
hikmah ini adalah bahwa kita diajarkan untuk senantiasa khalwat
dalam segala kondisi, artinya tidak berpihak kepada mahluk, melainkan
kepada Khaliq, yaitu konek kepada Allah tetap tersambung di lini
manapun kita berada,bukan hanya di tempat sepi atau jauh dari
keramaian manusia.
HIKMAH
13
“Bagaimana
hati bisa bersinar kalau bayang-bayang dunia terkesan di dalamnya?,
bagaimana seseorang akan kembali kepada Allah sementara dia
terbelenggu dengan syahwatnya?, bagaimana dia berharap masuk dalam
bimbingan Allah, sementara dia belum membersihkan dirinya dari
kotoran kelalaian?, dan bagaimana dapat memahami rahasia-rahasia
kecil, sementara dia belum bertobat dari dosa-dosanya”.
Interpretasi
Bertemunya
dua hal yang paradoksal seperti diam dan bergerak, terang dan gelap,
adalah sesuatu yang mustahil. Sama halnya dengan hati yang dipenuhi
cahaya keimanan akan kontras dengan kegelapan yang diselimuti
debu-debu dunia. Kembali kepada Allah, dengan menghentikan ruang
gerak nafsu akan bertentangan dengan tuntutan nafsu itu. Begitu juga
untuk memasuki tuntunan Allah yang menuntut kebersihan jiwa dan
menjauhkan diri larangan-laranganNya tidak akan sesuai dengan
kehendak nafsu itu. Dan untuk memahami rahasia-rahasiaNya yang samar,
yang hanya bisa dicapai dengan kadar ketakwaan yang tinggi akan
bertentangan pula dengan nafsu yang cenderung ingin melakukan
maksiat, dalam hal yang terakhir ini Allah bersabda: Takwalah kamu
kapada Allah, maka Allah akan mengajarimu!.
Dalam sebuah hadits disebutkan:”barangsiapa
yang beramal dengan ilmunya maka Allah akan memberinya ilmu yang
tidak dia ketahui”.
Abu Sulaiman, gurunya Imam Ahmad bin Hanbal
pernah berkata: “tatkala nafsu sudah terbelenggu dari perbuatan
maksiat, maka ia akan menjadi jernih dan akan mendatangkan hikmah
dengan sendirinya tanpa bimbingan guru”. Ucapan Abu Sulaiman ini
senada dengan Hadits Rasulullah Saw di atas.
Pentingnya melatih nafsu dalam semua sisi
kehidupan manusia ini karena nafsu inilah yang lebih mendominasi
langkah manusia dari pada akalnya. Ini sebagaimana dikatakan oleh
para psikolog bahwa perbuatan manusia 70 % dipengaruhi oleh nafsunya
sedangkan akal budi hanya 30 %. Namun manusia sejak jaman dahulu
lebih banyak menjawab keinginan nafsu dari pada pikiran jernihnya,
padahal sejak dulu pula manusia sudah mengetahui bahaya di balik
dominasi nafsu atas pikiran itu ada bahaya yang mengancam sehingga
metode-metode tarbiah ruhiyah pun sebenarnya sudah ada dari jaman
dulu yang terus berkembang seiring dengan berputarnya jaman.
HIKMAH 14
“Dunia
ini adalah sebuah kegelapan, hanya keberadaan Allah SWT semata lah
yang meneranginya. Barangsiapa yang telah atau ketika atau sebelum
atau sesudah melihatnya namun tidak menyaksikan kebesaranNya disana,
maka dia tidak bisa menangkap adanya sinyal cahaya itu. Dia telah
terhalang dari sinar ma’rifah oleh gumpalan-gumpalan awan”
Interpretasi
Jagad
alam semesta ini tatkala dihubungkan dengan eksistensi Allah SWT,
maka pada hakekatnya adalah sebuah kegelapan, wujudnya Allah lah yang
menerangi kegelapan itu. Ini adalah makna dari firman Allah SWT:
“Allah ( pemberi ) cahaya ( kepada ) langit dan bumi”.
Cahaya
adalah kelapangan jiwa yang ada dalam dada kita berupa makna-makna
hakiki yang melimpah dari anugerah, yang merupakan instrumen qalbu
kita untuk menjelaskan pemahaman menuju Hadirat Yang Maha Mengetahui
terhadap yang tersembunyi. Cahaya sekaligus sebagai instrumen sirr
(rahasia jiwa) untuk menjelaskan pengetahuan menuju Hadirat Yang Maha
Diraja dan Maha Memaksa.
Syeikh
Zaruq menegaskan, siapa pun yang melihat cahaya di qalbunya, ia akan
berjalan di atas instrumen (piranti) pemahamannya. Tetapi siapa yang
melihat cahaya dalam cakrawala sirr-nya ia akan berjalan dengan
instrumen ilmunya (bukan pemahamannya). Dan siapa yang tidak
mendapatkan Cahaya dari Allah, maka ia sama sekali tidak pernah
melihat cahaya mana pun. Karena itu jika Cahaya (Nur) itu merupakan
instrumen kebenaran, maka jangan sampai Nur itu dicampuri dengan
kebatilan. Dan diantara yang batil itu adalah melihat nafsu kita,
baik nafsu itu kurang atau lebih. “Cahaya itu adalah pasukan hati,
sebagaimana kegelapan adalah pasukannya hawa nafsu”.
Banyak
sekali orang yang terpedaya oleh kegelapan atas nama kebenaran, atas
nama Allah, atas nama agama, bahkan atas nama tasawuf, atau atas nama
Ma’rifat. Tipudaya atau ghurur itu bisa dilihat dari dalam batin
kita apakah kita merasakan adanya kepentingan-kepentingan
nafsu dibalik symbol-simbol agung tadi atau tidak.
HIKMAH
15
HIKMAH
SYEHK AL-IMAM YOSSEF AL-BAKHOUR AL-HASANI
1.
“Segala sesuatu yang terjadi di jagad raya ini mengajarkanmu bahwa
engkau berada dalam rahmat Allah swt”
Penjelasan
singkat:
Apa yang kita saksikan
pada diri kita dan alam, positif, atau negatif, dan di inginkan
atau tidak, dalam bentuk bala (musibah) atau nikmat (kesenangan),
semua itu menunjukkan bahwa kita dalam Rahmat Allah dan itu hanya
bisa di lihat dengan bashiroh (mata hati)
2.
“Ringankan, karena memperbanyak beban meletihkan”
Penjelasan
singkat:
Dunia itu beban, halalnya
dihisab, haramnya disiksa, dan mubahnya dicela, maka hendaklah
minimilisir beban kamu dari dunia.
3.
Timbanglah kata-katamu sebelum engkau ucapkan, karena jika kata-kata
telah diucapkan, boleh jadi menimpamu atau menguntungkanmu”
Penjelasan
singkat:
Dalam berbicara manusia
sering di motivasi oleh nafsu, maka sering pula kata-katanya
mencelaka-kannya, karena itu seorang yang mentarbiyah dirinya
hendaknya memperhitung-kan kata-kata yang diucapkannya, harus yang
bermanfaat karena kata-kata yang tidak ada manfaatnya adalah
merupakan kerugian.
4.
“Huriyah (kebebasan) adalah merendahkan dirimu kepada Allah”
Penjelasan
singkat:
Seseorang sering menduga
bahwa kebebasan adalah kebebasan dari segala ikatan agama, moral dan
tauhid, itu adalah pemikiran sesat. justru sebaliknya ia terbelenggu
oleh kotornya materi. Pada hakikatnya makhluk ini tidak akan
keluar atau terlepas dari iradah dan ilmu Allah swt, maka kebebasan
hakiki ia kembali pada hakikat jati dirinya yaitu merendahkan diri
kepad Allah swt melalui Syariah dan akhlak-NYA.
5.
“Jika engkau memandang manusia dengan kacamata syareah, engkau akan
murka kepada mereka, namun jika engkau memandangknya dengan pandangan
hakekat, maka engkau akan menyayangi mereka”.
Penjelasan
singkat:
Jika kita melihat seorang
melakukan kemungkaran dan kita mengukurnya dengan syariat saja, maka
kita akan marah dan merendahkan pelakunya serta murka melihat
kemungkaran itu, tapi jika kita menyaksikan bahwa pelaku ma’siat
itu tengah berada dalam takdir dan Kehendak Allah, maka kita akan
memanjatkan doa untuknya agar Allah SWT mengembalikan dia ke jalan
yang lurus dan taat.
Al Hikam
Edit by: ed al-muhasibi
Kitab al Hikam yang dikarang oleh Syeikh Ibn Ataillah
al-Sakandari (709H/1309H) adalah merupakan kitab tasawwuf yang tidak asing di
dalam dunia islai. Ia merupakan kitab yang mempunyai maksud yang dalam dan
jarang orang yang dapat memahaminya kecuali mereka betul-betul memahami uslub
dan kaedah-kaedahnya.
Oleh kerana manfaat kitab ini begitu besar kepada umat
Islam, ia telah diulas oleh begitu ramai ulama, sehingga ke zaman kita ini. Di
dalam Kitab al- Hikam yang diulas oleh Syeikh Said Hawa ini, gaya ulasan
beliau adalah mudah dipahami. Beliau mengaitkannya dengan uslub haraki. Ini
tidak heran memandangkan beliau sendiri adalah seorang pemimpin gerakan Ikhwan
al-Muslimin di Jordan. Dalam ulasan kitab al-Hikam ini, beliau turut
menjelaskan kekeliruan faham sesetengah kalangan terhadap isi kandungan kitab
al-Hikam ini dan kegagalan mereka menjelaskan maksudnya yang sebenar.
Kitab arab ini telah diterjemahkan dan ada dijual dipasaran
berjudl Syarah al-Hikam Ibn 'Athoillah as-Sakandari - Mencapai Maqam Siddiqun
dan Rabbaniyun.
Terbitan Pustaka Dini.
Syarah Hikam oleh Sa'id Hawwa ini, beliau susun dengan
mengambil syarah-syarah
kitab hikam seperti:
- Iqazul Himam oleh Ibn 'Ajibah
- Ghaisul Mawaahibil 'Aliyyah fi Syarh Hikam al-'Atho'iyyah oleh Ibn 'Abbad
- al Manh alQudsiyyah ala alHikam alAthoiyyah oleh Syeikh Abdullah al -
Hijazi al ESyarqawi disamping catatan pelajaran dari gurunya iaitu Sheikh
Muhammad al-Hamid
al-Kholidi an-Naqsyabandi.
Sekilas...
Tokoh ini terkenal di seluruh dunia Islam sebagai pengarang kitab al-Hikam
al-'Ataiyyah. Beliau telah meninggal dunia di kota al-Qahirah (Cairo) pada
tahun 709 Hijrah. Perkataan Hikam adalah bentuk jamak (plural) bagi perkataan
Hikmah (wisdom).
Tarekat Syadziliyah
Secara pribadi Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan
karya tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai
ajaran lisan tasawuf, Doa, dan hizib. Ibn Atha'illah as- Sukandari adalah orang
yang prtama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya,
sehingga kasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha'illah juga
orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat
tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya.
Melalui sirkulasi karya-karya Ibn Atha'illah, tareqat
Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak
sang guru. Tetapi ia tetap merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir
mati, meskipun tema ini tidak dipakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi
dalam. Syadzili sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk
melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk
kesalehan populer yang digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap
mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di
zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.
Sebagai ajaran Tareqat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan
al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya: "Seandainya
kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu
Hamid al-Ghazali". Perkataan yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya
al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki,
mewarisi anda cahaya." Selain kedua kitab tersebut, as-Muhasibi, Khatam
al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya
An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi 'Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi,
Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah'illah.
Ketaqwaan terhadap Allah swt lahir dan batin, yang diwujudkan dengan jalan
bersikap wara' dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah swt.
Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang
direalisasikan dengan selalau bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.
Berpaling (hatinya) dari makhluk (dunia), baik dalam penerimaan maupun
penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah swt (Tawakkal).
Ridho kepada Allah sepenuhnya, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang
diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana'ah/ tidak rakus) dan menyerah.
Kembali kepada Allah (tawakal), baik dalam keadaan senang maupun dalam
keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan
berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.
Kelima dasar tersebut juga berdiri diatas lima dasar berikut:
Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang
tinggi.
Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih penjagaan Allah
atas kehormatannya.
Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada
pencapaian tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.
Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan
hidupnya.
Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih
tambahan nikmat yang lebih besar.
Selain itu tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan
segala kemungkinan dan akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang)
merupakan salah satu pandangan tareqat ini, yang kemudian diperdalam dan
diperkokoh oleh Ibn Atha'illah menjadi doktrin utamanya. Karena menurutnya,
jelas hal ini merupakan hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia
adalah hendaknya ia menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada
masa sekarang dan hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan
menghalanginya untuk berbuat positif.
Sementara itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan
Hijriyah, Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang pensyarah kitab al-Hikam
memberikan kesimpulan dari ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan dan tindakan
kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan
berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan
diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam akan-Nya, dan
memohon kepada-Nya agar memberi syukur kepada kita."
Mengenai dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam
tareqat, secara umum pada pola dzikir tareqat ini biasanya bermula dengan
Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam
dua baris yang saling berhadapan, dan syekh di pusat lingkaran atau diujung
barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini,
kebijakjsanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari
dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan
memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai
maupun terhadap orang-orang disekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma
Allah diberikan oleh Ibn Atha'ilah berikut: "Asma al-Latif," Yang Halus harus
digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha
mempertahankan keadaan spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai membuat
sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus
dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar; dan
Asma al-Faiq, "Yang Mengalahkan" sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula,
tetapi hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkat yang tinggi .
Tareqat Syadziliyah terutama menarik dikalangan kelas menengah,
pengusaha, pejabat, dan pengawai negeri. Mungkin karena kekhasan yang tidak
begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang
terdapat dalam tareqat-tareqat yang lainnya. Setiap anggota tareqat ini wajib
mewujudkan semangat tareqat didalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan
mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karenanya,
ciri khas yang kemudian menonjol dari anggota tareqat ini adalah kerapian
mereka dalam berpakaian. Kekhasan lainnya yang menonjol dari tareqat ini adalah
"ketenagan" yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya:
asy-Syadzili, Ibn Atha'illah, Abbad. A Schimmel menyebutkan bahwa hal ini dapat
dimengerti bila dilihat dari sumber yang diacu oleh para anggota tareqat ini.
Kitab ar-Ri'ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang telaah psikologis
mendalam mengenai Islam di masa awal. Acuan lainnya
adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya Ulumuddin karya al-Ghozali. Ciri
"ketenangan" ini tentu sja tidak menarik bagi kalangan muda dan kaum penyair
yang membutuhkan cara-cara yang lebih menggugah untuk berjalan di atas Jalan
Yang Benar.
Disamping Ar-Risalahnya Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul
Auliya'nya, Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut
tareqat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti
ditakdirkan menjadi anggota tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka
percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini.
Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, Martin
menyebutkan bahwa pengamalan tareqat ini di Indonesia dalam banyak kasus lebih
bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang, kalau memang pernah,
bertemu dengan yang lain. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya
membaca secara individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan
diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tareqat ini
mempelajari berbagai hizib, paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin)
yang diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan
tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan
dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tareqat.
Hizb al-Bahr, Hizb Nashor, disamping Hizib al-Hafidzah,
merupaka salah satu Hizib yang sangat terkenal dari as-Syadzilli. Menurut
laporan, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh Nabi SAW. Sendiri. Hizib ini
dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama dugunakan untuk melindungi
selama dalam perjalanan. Ibnu Batutah menggunakan doa-doa tersebut selama
perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. Dan di Indonesia, dimana doa
ini diamalkan secara luas, secara umum dipercaya bahwa kegunaan megis doa ini
hanya dapat "dibeli" dengan berpuasa atau pengekangn diri yang liannya dibawah
bimbingan guru.
Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah, di Indonesia, juga
dipergunakan oleh anggota tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan
(Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandegelang, yang
dikaitkan dengan tareqat Rifa'iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan
tareqat Qadiriyah.
Para ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana,
ia secara kebaktian tidak begitu mendalam; ia lebih merupakan mantera megis
yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A'zhim) dan, apabila dilantunkan
secara benar, akan mengalirkan berkan dan menjamin respon supra natural.
Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dana doa, para syekh tareqat biasnya tidak
keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid dalam tareqat
dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi mereka
tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa wewenang, sebab murid
tersebut sedang mengikuti suaru pelatihan dari sang guru.
Tareqat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam.
Sekarang tareqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania
Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di
Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran
tareqat ini, tareqat ini mempunyai beberapa cabang, yakitu: al-Qasimiyyah, al-
madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah, al-Qauqajiyyah,
al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah,
al-Faisiyyah dan al- Hasyimiyyah.
Yang menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru
kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan
ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa
belaka, melainkan juga mengandung doktrin sufistik yang sangat dahsyat.
Di antara Ucapan Abul Hasan asy-Syadzili:
Pengelihatan akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan takkan meninggalkan
aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku memohon kepada
Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian sebuah suara
memanggilku, katanya " Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon
kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan Dia. Namun
memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya."Maka akupun memohon
kekuatan dari Dia pun membuatku kuat, segala puji bagi Tuhan!
Aku pesan oleh guruku (Abdus Salam ibn Masyisy ra): "Jangan anda
melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkn keridhoan Allah,
dan jangan duduk dimajelis kecuali yang aman dari murka Allah. Jangan
bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan
memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah."
Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau
usaha ihtiar sendiri.
Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat
kebutuhanmu. Dengan demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus
menjadi tujuan dari doamu adalah untuk bermunajat kepada Allah yang
memeliharamu dari-Nya.
Seorang arif adalah orang yang megetahui rahasia-rahasia karunia Allah di
dalam berbagai macam bala' yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui
kesalahan-kesalahannya didalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya.
Sedikit amal dengan mengakui karunia Allah, lebih baik dari banyak amal
dengan terus merasa kurang beramal.
Andaikan Allah membuka nur (cahaya) seorang mu'min yang berbuat dosa,
niscaya ini akan memenuhi antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya
menjelaskan : "Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia
akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah SWT.
Kairo 18 April 2006
Musim panas menjelang
Jumat, 06 Februari 2009
| Public Health Service |
Seattle District |
May 7, 2004
VIA CERTIFIED MAIL
RETURN RECEIPT REQUESTED
In reply refer to warning Letter SEA 04-28
Ian B. R. Campbell, General Manager
Tianshi Health Products, Inc., USA
917 134th Street Southwest, Suite #A-8
Everett, Washington 98204
WARNING LETTER
Dear Mr. Campbell:
An inspection conducted at your facility at Tianshi Health Products, Inc., USA, 917 134th Street Southwest, Suite #A-8, Everett, Washington, on February 19-20, 2004, by the Food and Drug Administration (FDA) revealed a serious regulatory problem involving the product known as the Acupoint Treasure. Under a United States federal law, the Federal Food, Drug, and Cosmetic Act (the Act), this product is a medical device because it is intended for use in the diagnosis of disease or other conditions or in the cure, mitigation, treatment or prevention of disease, or is intended to affect the structure or function of the body. See section 201(h) of the Act, 21 USC. 321 (h). Specifically, according to its labeling, the Acupoint Treasure is a “pocket medical acupuncture appliance” that claims to lower blood pressure, eliminate inflammation, relieve pain, improve microcirculation, and treat diseases, including periarthritis of humeroscapularis, headache, waist pain, and nerve pain.
The law requires that manufacturers of certain medical devices or initial importers of certain foreign-made medical devices obtain marketing approval or clearance for their products from FDA before they may offer them for sale or import them into the United States. This helps to protect the public health by ensuring that new medical devices are shown to be either safe and effective or substantially equivalent to other devices already legally marketed in this country.
Our records do not show that there is marketing clearance or approval in effect for the Acupoint Treasure. Our inspection revealed that 2000 Acupoint Treasures were nonetheless imported and delivered to your Everett, Washington facility in August 2003 from your facility Tianjin Tianshi Bioengineering Co., Ltd., Tianjin, China. These Acupoint Treasures were declared as "TIANSHI ACUPOINT TRESURE MASSAGE” with product code “89I{}{}SA” under entry number FN5-0105653-8. The inaccurate declaration on the entry caused these unapproved medical devices to enter the United States without review by the FDA. Two hundred of these devices were subsequently exported to Canada.
Because the Acupoint Treasure medical devices do not have marketing clearance or approval from the FDA, they violate United States law. In legal terms, the devices are misbranded under section 502(o) [ 21 U.S.C. 352(o)] and adulterated under section 501(f)(1)(B) [ 21 U.S.C. 351(f)(1)(B)] of the Act. Your devices are misbranded under the Act because you did not submit a premarket notification under section 510(k) of the Act. Until you submit a section 510(k) premarket notification and FDA reviews it and notifies you that your device is substantially equivalent to other legally marketed devices, your devices are also adulterated under the Act because the law requires, and you do not have, an approved premarket approval application that shows your device is safe and effective. For a product requiring premarket approval before marketing, the notification required by section 510(k) of the act is deemed to be satisfied when a premarket approval application (PMA) is pending before the agency (21 CFR 807.81 (b)).
Until these serious violations of the Act are corrected, future shipments of the Acupoiut Treasure may be refused admission to the United States. This serious violation of the law may also result in FDA taking regulatory action without further notice, including seizing your product inventory. Federal agencies are informed of the issuance of ail warning letters about drugs and medical devices so they may consider this information when awarding government contracts.
You should take prompt action to correct this deficiency. You should notify this office within fifteen (15) working days from receipt of this letter of the specific steps you have taken to correct the noted violations, including an explanation of each step taken to prevent the recurrence of similar violations. If corrective action cannot be completed within 15 working days, state the reason for the delay and the time within which the corrections will be completed.
Finally, you should understand that there are many FDA requirements pertaining to the manufacture and marketing of medical devices. This letter pertains only to the issue of premarket review requirements for your device and does not necessarily address other obligations you have under the law. The kind of information you need to submit in order to obtain clearance or approval for your device is described on FDA’s Internet website at www.fda.gov/cdrh/devadvice. The FDA will evaluate this information and decide whether your product may be legally marketed. You may obtain general information about all of FDA’s requirements for manufacturers and distributors of medical devices by contacting our Division of Small Manufacturers and International Consumer Assistance (DSMICA) at (800) 638-2041 or through the Internet at http://www.fda.gov.
Please send your reply to the Food and Drug Administration, Attention: Lisa M. Althar, Compliance Officer, 22201 23rd Drive SE, Bothell, Washington 98021-4421. If you have questions regarding any issue in this letter, please contact Lisa M. Althar at (425) 483-4940.
Sincerely,
Charles M. Breen
District Director
cc: Percy K. Chin, Chief Executive Officer
Tianjin Tianshi Bioengineering Company, Ltd.
Henderson Building
18 Jianguomennei Avenue
Tower 1, Floor 20
Beijing, China 100005
Rabu, 07 Januari 2009
DAMPAK HP
Dampak Positif
- Komunikasi dapat terjalin dengan mudah sehingga meskipun jaraknya cukup jauh, kita dapat berkomunikasi asalkan memiliki sinyal yang baik pada saat penggunaannya.
- Dapat mencari informasi dengan mudah di web yang terdapat di dalam Hand Phone.
Dampak Negatif
- Prestasi belajar menurun
- Boros, karena uang jajannya digunakan untuk membali pulsa
- Suka membantah perintah orang tua
- Lebih menganggap bahwa Hand Phone adalah segalanya
- Lupa waktu untuk belajar
- Lupa waktu untuk sholat meskipun hanya 10 menit
- Menghentikan sholat ketika Hand Phone berbunyi
Kamis, 01 Januari 2009
QOLBU
Jangan Selalu Merasa Berdosa
Jangan terlalu merasakan dosa-dosa yang telah egkau lakukan, sehingga dapat menghalang-halangi engkau bersangka bak terhadap Allah. Sesungguhnya apabila engkau megenal Tuhanmu dengan sifat-sifat kesempuraanNya, maka engkau tidak terlalu membesar-besarkan dosamu, disisi sifat Maha RahmanNya Allah swt. Tidak ada dosa yang kecil, apabila Allah mengharapkan padamu sifat adilNya, dan tidak ada dosa besar apabila Allah mengharapkan padamu sifatNya yang penuh anugerah.”
Apabila seorang hamba merasa besar sekali dosanya terhadap Allah, setiap saat ada saja dosa yang dikerjakannya walaupun dosa-dosa kecil, maka perasaan seperti ini akan memperburuk dirinya sendiri. Ia akan menganggap Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang akan menurunkan siksaNya kepada si hamba yang berdosa. Padahal Allah Ta'ala bersifat sangat Rahman dan sangat Arif bagi siapa saja.
Sesungguhnya Rahmad dan kasih saying Allah itu lebih banyak dan lebih luas dari pada siksaNya. Sifat adil dan bijak Nya meliputi langit da bumi dengan segala isinya. Allah SWT mengetahui tentang manusia di muka bumi ini. Kemampuan ilmu dan kekuatannya. Sehingga tuangan Rahmad dan kasih Nya yang ada dipermukaan bumi ini sangat sempurna dan sangat bijaksana. Sifat Allah Ta'ala yang pemaaf dan pengampun adalah bagian dari anugerah Allah SWT kepada manusia dan semua makhluk yang ada di alam semesta.
Manusia tidak perlu berlebih-lebihan merasa dosa dan salah terhadap Allah SWT. Setelah mengetahui sifat Allah dan besarnya Rahmad dan anugerah Allah terhadap isi ala mini. Tugas seorang hamba terhadap Allah atas segala dosa-dosanya adalah kembali sadar, lalu bertobat dengan tobat yang sungguh-sungguh, dengann niat tidak akan mengulangi lagi da berharap rahmad Allah terus-menerus agar tidak tergoda dan tergelincir untuk kedua kalinya kelembah dosa (itulah yang disebut taubatan nasuha).
Sahabat Ibnu Mas'ud berucap, "Adapun hamba yang merasa dosa-dosanya seperti tingginya guung, dia kuatir kalau-kalau dosanya yang besar itu akan roboh menimpa dirinya (seperti guung yang tiba-tiba roboh menimpa manusia dibawahnya). Sebaliknya, orang yang meganggap enteg dosa dan kesalahannya yang perah diperbuat, menganggap dosa itu seperti lalat yang hinggap diujung hidungnya, ia menganggap remeh dosa yang ia perbuat, tidak akan mengganggu pikiran dan perasaannya. Seperti mudahnya ia menghalau lalat yang hinggap diujung hidungnya".
Ia menganggap Allah tidak mampu berbuat apa-apa kalau ia berbuat dosa. Atau megira tidak ada hubungannya dosa kesalahannya kepada Allah Ta'ala. Adapun orang yang berbuat dosa dan sombong, seperti tidak ada lagi yang melebihi dirinya. Sedangkan orang berdosa tidak akan menarik orang beriman untuk segera surut dari perbuatannya mendekati Allah SWT.
Cahaya Allah Dalam Hati
“Ada cahaya allah yang diizinkan sampai ke hati, dan cahaya allah yang diizinkan masuk menempati hati”.
Ada cahaya Allah yang hanya menempel pada bagian luar hati, ada cahaya Allah masuk menempati di dalam hati. Yang menempel di hati itulah Islam dan cahaya yang berada di dalam hati itu adalah iman.
Cahaya Allah yang hanya menempel di hati, adalah sifat manusia yang telah menjadi muslim akan tetapi belum berkosentrasi sepenuhnya kepada Allah. Pikirannya belum utuh tertuju kepada Allah, ia masih mudah terpengaruh oleh lingkungan dan alam sekitarnya. Sedangkan cahaya yang masuk ke dalam hati, telah menjadi satu di dalam hati hamba Allah. Ia telah konsentrasi dalam imannya, jauh dari pengaruh lingkungan dan alam sekitar dan hal-hal lain yang merusak konsentrasinya.
Beberapa ulama berpendapat bahwa apabila iman itu berada di luar hati maka si hamba adalah pecinta dunia dan akhirat. Separuh hatinya mencintai Allah dan separuhnya lagi menyukai dirinya sendiri. Akan tetapi iman telah menembus lubuk hatinya, maka dunianya akan ditinggalkan serta terus menolak panggilan hawa nafsunya.
Cahaya-cahaya Ilahiyah yang masuk ke dalam hati, adakalanya tidak menemukan tempat yang sesuai dengan kedudukannya. Karena begitu banyak perkara duniawi yang berkecamuk dan meliputi seluruh permukaan hati manusia. Ketika cahaya Allah itu memasuki hati yang telah dikotori oleh masalah hidup itu, terpaksa cahaya Allah itu kembali kepada pemiliknya.
Jelas bahwa kebaikan itu tidak dapat menerima keburukan, karena kedua hal ini adalah ufuk yang tidak mungkin dipertemukan. Oleh karena itu seorang hamba Allah yang menghendaki cahaya Allah itu masuk dalam hatinya, hendaklah ia bersihkan hatinya dari kotoran yang melekat di dalamnya. Kalbu kita seharusnya tetap dalam kesucian, barulah nurullah itu masuk dan bersemi dengan utuh di dalam hati sanubari kita.
Nurullah adalah cahaya Ilahi yang ada di alam ini yang memancar secara lahir dan secara batin. Pancaran lahiriah ditebarkan kepada alam semesta, sehingga seluruh makhluk di dalamnya (tumbuhan, hewan, dan benda-benda lainnya, terutama manusia) mendapat cahaya Ilahi itu dengan merata. Pancaran nurullah itu berada pada maujud ciptaan-Nya yang menjelma pada benda-benda langit. Pancaran benda langit sebagai ciptaan Allah memberi kehidupan bagi makhluk dan benda-benda bumi.
Cahaya lahir, dari Allah untuk keperluan jagad raya ini, dan cahaya batin, adalah untuk hati dan jiwa manusia. Cahaya batin membentuk kesucian ruh untuk menghadapai godaan setan dan pengaruh hawa nafsu maksiat.
Allah SWT berfirman dalam surat Az-Zumar ayat 69, “Dan memancarlah cahaya bumi dengar nur Tuhannya. “dalam surat An-Nur ayat 22, dijelaskan, “Adapun orang yang telah Allah buka dadanya dengan Islam,maka ia ia telah mendapatkan cahaya dari Tuhannya.”[
Cahaya Diatas Cahaya
" Allah akan senantiasa memberikan bimbingan kepada orang-orang yang beriman untuk mengeluarkan dari alam kegelapan menuju ke alam yang penuh dengan cahaya yang terang benderang "
(QS.2:257).
CAHAYA DIATAS CAHAYA
Oleh : Ridwan Suhaedy S.Ag.
Adanya cahaya/sinar adalah merupakan suatu siklus keteraturan alam yang indah, dimanapun kapanpun ternyata sinar/cahaya sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup guna melangsungkan kehidupannya, sampai yang lebih spesifik lagi yaitu hati manusia bila tidak ada cahaya yang menerangi maka hati itu akan buta - tidak terlepas dari bangsa dan agama manapun, seperti : biksu, pendeta atau bahkan orang biasa, dll. Namun bagi kaum muslim sudah ada garansi/jaminan bahwa Allah akan senantiasa memberikan bimbingan kepada orang-orang yang beriman untuk mengeluarkan dari alam kegelapan menuju ke alam yang penuh dengan cahaya yang terang benderang (QS.2:257).
Sesungguhnya Allah telah mengilhamkan kepada manusia jalan yang baik/taqwa (dalam bentuk cahaya yang terpatri di dalam lubuk hati sanubari yang paling dalam = IMAN) dan buruk (fujur) dan Allah senantiasa akan menyempurnakan cahaya-Nya yang ada pada manusia bila mereka selalu mengasah/melatih untuk menggunakan segala macam ni'mat yang telah diberikan, walau orang-orang yang berada di alam kegelapan (orang-orang yang memiliki amalan/perbuatannya jauh dari agama atau yang lebih dikenal dengan istilah kafir/kufur atau berbuat musyrik/syirik) membencinya dan tidak senang bila cahaya Allah terpancar di dalam diri setiap orang yang beriman, sebagaimana firman Allah swt : "Yuriiduuna Liyuthfiuu Nuurollahi Biafwahihim Wallohu Mutimmuu Nuurihi Walau Karihal Kafirun (Orang-orang kafir/musyrik itu selalu berusaha ingin memadamkan cahaya-cahaya Allah di dalam diri manusia dengan do'a-do'a dan ucapan-ucapan mereka, akan tetapi Allah swt senantiasa menyempurnakan cahaya-Nya sehingga terhunjam lebih dalam di hati orang yang beriman kepada-Nya)". (QS.61:8).
"Kafir" adalah orang yang ingkar kepada Allah, sedang "Kufur" adalah perbuatannya, dan "Musyrik" adalah orang yang menyekutukan Allah dengan sesuatu, sedang "Syirik" adalah suatu bentuk perbuatan yang mengandung makna menduakan/persekutuan.
Banyak orang Islam yang melakukan perbuatan-perbuatan kufur dan syirik/mempersekutukan Allah tanpa disadari, salah satu contoh : seseorang yang bila mendapatkan kesuksesan atau keberuntungan, lalu dia berkata karena kegigihan dan hasil usahanya semata, maka sebenarnya orang tersebut telah melakukan suatu bentuk perbuatan yang kufur, bisa juga telah berbuat syirik, karena telah meniadakan rahmat Allah yang telah memberikannya rizqi yang berupa keberhasilan.
Jadi sangat penting sekali cahaya bagi kehidupan ini karena dengan adanya cahaya berarti terkandung pula energy di dalamnya, semakin besar dan terang cahaya tersebut berarti semakin banyak pula kandungan energynya, sampai-sampai fisikawan dunia peraih hadiah noble di bidang fisika (Albert Eistein) membuat suatu rumusan : E = MC2 yang berarti : Energy = Massa X Cepat X Cahaya, jadi sangat masuk akal rumusan ini baik secara keilmuan maupun secara tingkah laku manusia di alam jagat raya ini, contoh : bila kita melihat setiap peperangan antara Muslim dan Kafir, pada akhirnya selalu dimenangkan oleh kaum Muslimin karena dinilai lebih berEnergy/memiliki Energy yang sempurna, sebagaimana penjabaran di bawah ini dari kasus di atas :
M = massa/pasukan perang,
C = cepat dalam menghadapi tantangan lawan/musuh, dan
C = cahaya keimanan yang selalu terpatri di dalam hati para pejuang,
tapi ada pengecualian bila setiap pasukan muslim tidak memiliki nilai cahaya keimanan maka akan sama dengan kaum kafir bahkan pasukan muslim pun akan terkalahkan,bahkan lebih parah dan banyak lagi contoh lainnya.
Maka dari itu, penting sekali makna cahaya (baik hakekat cahaya maupun kiasan saja yang berupa keimanan) dalam menerangi kehidupan kita, apalagi cahaya tersebut digunakan untuk amal kebajikan seperti sistem pengobatan alternatif yang dilakukan di yayasan Nur Syifa' yaitu pasien dibimbing untuk menghidupkan hati nuraninya agar menerima getaran dan percikan cahaya Allah (Nur-Ilahi) yang sudah terkandung dalam dirinya dan yang dialirkan oleh Bpk. HM. Bambang Irawan dan Ibu Hj. Retno Dewi ke dalam diri si pasien, apalagi adanya program pembersihan dan pelatihan buka Aura yaitu dengan menghadirkan dan membangkitkan cahaya Allah yang telah ada di dalam diri sehingga menampilkan suatu gerakan-gerakan yang lembut yang seakan-akan membawa kita terbang melayang. Itulah Nur-Ilahi.
Oleh sebab itu, manfaatkanlah anugerah yang Allah telah berikan kepada kita dan berlatihlah selalu agar cahayanya lebih terang-benderang dan dapat membimbing kita menjadi Insan Kamil (manusia sempurna).
Allah swt dalam Al-Qur'an menyatakan bahwa :
"Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupuntidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu".(QS.15:35)
Wallohu a'lam
Cahaya
|
| |
Sel-sel otak manusia berjumlah sekitar 100 milyar. Banyaknya jumlah sel tersebut tidak berarti apa-apa, sebab yang menjadi ukuran kepintaran dan kebijaksanaan seorang manusia adalah sebanyak mana terjadinya interaksi arus listrik (electrical impulses) antara axon pada satu sel otak dengan dendrite pada sel otak yang lain. (Lam Peng Kwan & Eric Y K Lam, 2003). Studi empiris membuktikan bahwa dari 100 milyar sel-sel otak itu, kapasitas interaksi arus listrik dalam rata-rata otak seorang manusia modern hanya berkisar antara 6 sampai 8% saja. Sedangkan sisa 92% lagi dari 100 milyar sel-sel otak adalah daerah gelap dan terbiar bagaikan rimba belantara yang tidak pernah dijelajahi. Itu sebabnya banyak ungkapan yang menggambarkan otak manusia sebagai raksasa yang tidur atau wilayah terbesar dunia yang belum dijelajahi. (Collin Rose & Malcolm J.Nicholl, 1997). Jika manusia modern menamakan interaksi arus listrik antar sel otak itu dengan istilah electrical impulse yang bergerak dari satu axon ke dendrite, ratusan tahun yang lalu Imam Syafi’i dan gurunya Imam Waki’ ‘mengistilahkannya’ sebagai Nurullah (Cahaya Allah). Beliau dan gurunya Imam Waki’ berkeyakinan bahwa dasar daripada pemahaman dan penyerapan yang kuat terhadap ilmu pengetahuan adalah cahaya Allah yang menerangi hati dan pemikiran. Dalam sinergi pemahaman yang sederhana bisa disimpulkan bahwa prosentase electrical impulse pada sel-sel otak manusia dapat dilejitkan dengan cara meningkatkan kapasitas cahaya Allah dalam hati dan pemikiran. Sebuah riwayat menceritakan bahwa Imam Syafi’i pernah mengadu kepada gurunya tentang kesukarannya dalam menghafal ilmu pengetahuan. Maka gurunya Imam Waki’ menasehatinya untuk mensucikan diri dengan meninggalkan kemaksiatan. Beliau juga berpesan demikian, “Ilmu pengetahuan itu adalah cahaya Allah. Dan cahaya Allah tidak akan menyinari hati orang yang berbuat maksiat.” Setelah menjalankan pesan gurunya itu tingkat kepahaman dan hafalan Imam Syafi’i terpacu secara luar biasa. Beliau dapat mengingat hampir seluruh huruf pada buku yang dibacanya atau seluruh perkataan pada ceramah yang didengarnya. Orang yang diterangi Allah hati dan pemikirannya digelari al-Quran sebagai Ulil Albab. Perkataan Albab adalah bentuk plural dari Lubb yang salah satu maknanya adalah akal. Maka Ulil Albab bermaksud orang-orang yang memiliki kemampuan akal yang tinggi (Ibrahim Anis, 1972). Sebutlah nama-nama ulama besar seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Ibnu Taymia, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Dengan mengimbas ‘cahaya Allah’ yang timbul dari ketakwaan, akal mereka begitu tercerahkan (enlighted) dan berhasil menemukan fenomena-fenomena alam semesta. Penemuan mereka bahkan masih menjadi sumber inspirasi dalam dunia ilmu pengetahuan hingga hari ini. Satu-satunya cara yang mereka contohkan agar ‘cahaya Allah’ berperan dalam memacu kekuatan arus listrik pada sel-sel otak adalah dengan meningkatkan ketakwaan dan meninggalkan kemaksiatan. Firman Allah: “Dan bertakwalah kepada Allah niscaya Allah akan mengajari kamu ilmu, dan Allah Maha Mengetahui akan segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 282) Ayat di atas merupakan rumus yang jelas dan tegas betapa solusi utama yang paling efisien untuk mengeluarkan umat Islam dari kemunduran pemikiran, ketumpulan analisa dan kelemahan ilmu pengetahuan adalah dengan mengkilapkan kembali cahaya ketakwaan dalam sanubari mereka. Inilah cara yang dicontohkan para ulama terdahulu untuk melejitkan interaksi arus listrik (electrical impulse) antara axon dengan dendrite dalam otak. Lebih menarik lagi untuk disimak sebuah kajian empiris yang dilakukan oleh peneliti ahli dalam bidang neuropsikologi, Michael Persinger dan V.S. Ramachandran. Mereka berdua menemukan adanya ‘Titik Tuhan’ (God Spot) dalam belantara otak manusia. Lebih rinci lagi mereka menyebutkan bahwa ada sebuah area di sekitar lobus temporal otak yang bersinar saat seseorang diajak untuk berdiskusi dan merenungkan hal-hal yang bersifat keTuhanan. Area tersebut juga menunjukkan peningkatan aktivitas saat seseorang menerima wejangan rohani atau renungan keTuhanan.(Martin, Anthony Dio 2003) Seakan-akan sudah ada suatu mekanisme khusus dalam diri (otak) manusia untuk berhubungan dengan Pencipta alam semesta. Dan sesungguhnya ‘hubungan’ (atau lazim disebut dalam Islam dengan ibadah) itulah yang meningkatkan kualitas dirinya sebagai manusia dan melejitkan kemampuan akalnya. Kita sama-sama memahami bahwa ilmu pengetahuan terhasil dari kumpulan pengalaman lima panca indra manusia (penglihatan, penciuman, pendengaran, perasa dan peraba). Seluruh apa yang dialami oleh lima indra tersebut berupa rangsangan pengalaman (impulse) diterima oleh saraf penerimaan (receptor neurone) untuk selanjutnya dianalisa oleh saraf sensor (sensory neurone). Kesemua proses ini terjadi dengan adanya interaksi arus listrik dalam sel-sel otak sehingga manusia mampu membentuk suatu kesimpulan (analisa) atau melakukan respon fisik (motoric neurone). Sebesar mana proses interaksi arus listrik dalam otak manusia yang terjadi akibat pengalaman lima indra itu, sebesar itu pulalah daya penyerapan pengetahuan dalam otak. Maka wajarlah jika timbul perbedaan sudut pandang antara manusia yang cerdas (yang memiliki kapasitas besar pada interaksi arus listrik pada sel-sel otaknya) dengan orang awam (yang memiliki kapasitas kecil pada interaksi arus listrik pada sel-sel otaknya). Terutama dalam kemampuan menganalisa apa yang dilihat, dirasa, dan didengarnya. Firman Allah SWT: “Perbandingan dua golongan itu seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan mendengar. Apakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran?” (Surah Hud 11: 24) Ayat di atas mengesahkan fungsi panca indra sebagai sarana penyerap ilmu pengetahuan. Tentu yang dimaksud dengan pendengaran dan penglihatan di sini bukanlah alat indra mata atau telinga yang dimiliki oleh semua orang secara sama. Tetapi kadar kemampuan sel-sel otak dalam menganalisa pengetahuan yang dideteksi oleh indra-indra tersebut. Jika kita yakin dengan firman Allah di atas dan percaya dengan penemuan pakar Neuropsikologi tentang ‘God Spot’, maka tentulah kita berkesimpulan bahwa pencapaian manusia dalam melejitkan kemampuan sel-sel otak sangat tergantung kepada sebanyak mana ia menyerap cahaya Allah dalam dirinya. Pada hadits Qudsi berikut dapat kita pahami betapa sebenarnya kekuatan intelektual para ulama zaman silam ternyata bertapak pada kekuatan spritual mereka dalam menambah cahaya Allah dalam diri. Rasulullah SAW bersabda, Allah SWt berfirman dalam hadits Qudsi: “Jika HambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan melakukan hal-hal yang Sunnah, maka ia akan kucintai (Dan jika demikian) maka Akulah yang menjadi pendengaran yang ia mendengar dengannya, Aku menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya, Aku menjadi lidah yang ia bertutur dengannya dan Aku menjadi akal yang ia berfikir dengannya. Jika ia berdoa kepadaku niscaya Aku perkenankan. Jika ia meminta kepadaku niscaya Aku kurniakan. Dan jika ia memohon pertolongan kepadaKu pasti Aku tolong. Ibadahnya yang paling Aku cintai adalah kewajiban yang ditunaikannya untukKu” (Hadits Qudsi Riwayat at-Thabrani dalam kitab al-Kabir yang bersumber dari Abu Umamah) Jelas sekali diilustrasikan dalam hadits Qudsi di atas betapa seorang hamba yang banyak melakukan ibadah Nawafil (sunnah) akan memiliki kekuatan ekstra pada penglihatan, pendengaran, karya tangan dan gerakan kaki. Bayangkanlah para ulama zaman silam yang sudah terbentuk kekuatan penglihatan, pendengaran, pembicaraan dan pemikirannya dengan cahaya-cahaya Allah. Semua interaksi panca indranya teramat kuat karena mengambil imbasan kekuatan Allah. Seluruh hasil bacaannya, hasil pengamatannya, hasil pendengarannya, hasil karya fikirnya diproses oleh sel-sel otak dengan menggunakan kekuatan cahaya Allah. Rangkuman dari semua kekuatan itulah yang membentuk peribadi-peribadi yang unggul dalam bidang apapun yang ditekuninya. Jika ia seorang pelayar maka ia menjadi pakar ilmu pelayaran yang unggul (Vasco da Gama; tidak akan pernah menjadi manusia Eropa pertama yang sampai ke India dan Nusantara jika bukan karena menyandera pakar pelayaran Muslim bernama Ibnu Majid yang pada saat itu sudah mengarang tiga kitab ilmu pelayaran), jika ia menekuni bidang kedokteran maka ia menjadi dokter yang tiada tanding (Ibnu Sina dengan The Canon of Medicine nya masih menyisakan sisi sisi keilmuan medika yang dikaji hingga hari ini), jika ia menjadi pakar matematik maka ia mampu mengungkapkan misteri angka dan bentuk yang tidak habis digali sepanjang zaman (Trilogi dunia matematika; Al-Jabar, Aritmatika dan Logaritma ternyata ditemukan oleh al-Khawarizmi) dan jika ia menjadi negarawan maka ia menjadi tumpuan kecintaan rakyat karena membawa kesejahteraan yang tiada tara dalam sejarah bangsanya (Umar bin Abdul Aziz menjadikan rakyatnya sejahtera sehingga tidak ada lagi orang yang memerlukan bantuan).
Kita yang hidup pada akhir zaman ini tidak perlu lagi melakukan proses ‘try and error’ dalam menciptakan keunggulan sumberdaya manusia. Tumpuan pencarian yang benar adalah pada meningkatkan serapan cahaya Allah sebanyak mungkin, yang dengan mudah kita dapati melalui ibadah-ibadah Sunnah seperti melantunkan al-Quran yang merupakan kalam Ilahi, terdiam dalam sujud-sujud tahajud yang panjang, shalat-shalat sunnah (Dhuha rawatib, dll), puasa-puasa sunnah (Senin, Kamis, puasa Asyura’, puasa Arafah, dll) serta ibadah-ibadah sunnah lainnya yang dapat menaikkan derajat kita menjadi orang yang dicintai Allah. Ingatlah betapa hadits di atas menerangkan bahwa jika Allah telah mencintai seseorang maka orang itu dapat melihat, mendengar, berbicara dan berfikir dengan kekuatan dan cahaya Allah. Inilah inti daripada kecerdasan spritual (Spiritual Quotient) yang merupakan motor penggerak terhadap kecerdasan intelektual (Intelectual Quotient) dan kecerdasan emosional (Emotional Quotient). |