Sabtu, 28 Februari 2009

Al Hikam

Pengenalan Kitab Al-Hikam

Edit by: ed al-muhasibi



Kitab al Hikam yang dikarang oleh Syeikh Ibn Ata’illah
al-Sakandari (709H/1309H) adalah merupakan kitab tasawwuf yang tidak asing di
dalam dunia islai. Ia merupakan kitab yang mempunyai maksud yang dalam dan
jarang orang yang dapat memahaminya kecuali mereka betul-betul memahami uslub
dan kaedah-kaedahnya.



Oleh kerana manfaat kitab ini begitu besar kepada umat
Islam, ia telah diulas oleh begitu ramai ulama, sehingga ke zaman kita ini. Di
dalam Kitab al- Hikam yang diulas oleh Syeikh Said Hawa ini, gaya ulasan
beliau adalah mudah dipahami. Beliau mengaitkannya dengan uslub haraki. Ini
tidak heran memandangkan beliau sendiri adalah seorang pemimpin gerakan Ikhwan
al-Muslimin di Jordan. Dalam ulasan kitab al-Hikam ini, beliau turut
menjelaskan kekeliruan faham sesetengah kalangan terhadap isi kandungan kitab
al-Hikam ini dan kegagalan mereka menjelaskan maksudnya yang sebenar.



Kitab arab ini telah diterjemahkan dan ada dijual dipasaran
berjudl Syarah al-Hikam Ibn 'Athoillah as-Sakandari - Mencapai Maqam Siddiqun
dan Rabbaniyun.

Terbitan Pustaka Dini.



Syarah Hikam oleh Sa'id Hawwa ini, beliau susun dengan
mengambil syarah-syarah

kitab hikam seperti:

- Iqazul Himam oleh Ibn 'Ajibah

- Ghaisul Mawaahibil 'Aliyyah fi Syarh Hikam al-'Atho'iyyah oleh Ibn 'Abbad

- al Manh al–Qudsiyyah ‘ala al–Hikam al–Atho’iyyah oleh Syeikh Abdullah al -
Hijazi al ESyarqawi disamping catatan pelajaran dari gurunya iaitu Sheikh
Muhammad al-Hamid

al-Kholidi an-Naqsyabandi.





Sekilas...
Tokoh ini terkenal di seluruh dunia Islam sebagai pengarang kitab al-Hikam
al-'Ataiyyah. Beliau telah meninggal dunia di kota al-Qahirah (Cairo) pada
tahun 709 Hijrah. Perkataan Hikam adalah bentuk jamak (plural) bagi perkataan
Hikmah (wisdom).




Tarekat Syadziliyah

Secara pribadi Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan
karya tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai
ajaran lisan tasawuf, Doa, dan hizib. Ibn Atha'illah as- Sukandari adalah orang
yang prtama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya,
sehingga kasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha'illah juga
orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat
tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya.

Melalui sirkulasi karya-karya Ibn Atha'illah, tareqat
Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak
sang guru. Tetapi ia tetap merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir
mati, meskipun tema ini tidak dipakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi
dalam. Syadzili sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk
melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk
kesalehan populer yang digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap
mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di
zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.

Sebagai ajaran Tareqat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan
al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya: "Seandainya
kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu
Hamid al-Ghazali". Perkataan yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya
al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki,
mewarisi anda cahaya." Selain kedua kitab tersebut, as-Muhasibi, Khatam
al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya
An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi 'Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi,
Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah'illah.

Ketaqwaan terhadap Allah swt lahir dan batin, yang diwujudkan dengan jalan
bersikap wara' dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah swt.
Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang
direalisasikan dengan selalau bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.

Berpaling (hatinya) dari makhluk (dunia), baik dalam penerimaan maupun
penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah swt (Tawakkal).
Ridho kepada Allah sepenuhnya, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang
diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana'ah/ tidak rakus) dan menyerah.
Kembali kepada Allah (tawakal), baik dalam keadaan senang maupun dalam
keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan
berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.

Kelima dasar tersebut juga berdiri diatas lima dasar berikut:

Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang
tinggi.
Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih penjagaan Allah
atas kehormatannya.
Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada
pencapaian tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.
Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan
hidupnya.
Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih
tambahan nikmat yang lebih besar.

Selain itu tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan
segala kemungkinan dan akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang)
merupakan salah satu pandangan tareqat ini, yang kemudian diperdalam dan
diperkokoh oleh Ibn Atha'illah menjadi doktrin utamanya. Karena menurutnya,
jelas hal ini merupakan hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia
adalah hendaknya ia menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada
masa sekarang dan hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan
menghalanginya untuk berbuat positif.

Sementara itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan
Hijriyah, Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang pensyarah kitab al-Hikam
memberikan kesimpulan dari ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan dan tindakan
kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan
berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan
diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam akan-Nya, dan
memohon kepada-Nya agar memberi syukur kepada kita."

Mengenai dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam
tareqat, secara umum pada pola dzikir tareqat ini biasanya bermula dengan
Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam
dua baris yang saling berhadapan, dan syekh di pusat lingkaran atau diujung
barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini,
kebijakjsanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari
dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan
memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai
maupun terhadap orang-orang disekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma
Allah diberikan oleh Ibn Atha'ilah berikut: "Asma al-Latif," Yang Halus harus
digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha
mempertahankan keadaan spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai membuat
sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus
dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar; dan
Asma al-Faiq, "Yang Mengalahkan" sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula,
tetapi hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkat yang tinggi .

Tareqat Syadziliyah terutama menarik dikalangan kelas menengah,
pengusaha, pejabat, dan pengawai negeri. Mungkin karena kekhasan yang tidak
begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang
terdapat dalam tareqat-tareqat yang lainnya. Setiap anggota tareqat ini wajib
mewujudkan semangat tareqat didalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan
mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karenanya,
ciri khas yang kemudian menonjol dari anggota tareqat ini adalah kerapian
mereka dalam berpakaian. Kekhasan lainnya yang menonjol dari tareqat ini adalah
"ketenagan" yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya:
asy-Syadzili, Ibn Atha'illah, Abbad. A Schimmel menyebutkan bahwa hal ini dapat
dimengerti bila dilihat dari sumber yang diacu oleh para anggota tareqat ini.
Kitab ar-Ri'ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang telaah psikologis
mendalam mengenai Islam di masa awal. Acuan lainnya
adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya Ulumuddin karya al-Ghozali. Ciri
"ketenangan" ini tentu sja tidak menarik bagi kalangan muda dan kaum penyair
yang membutuhkan cara-cara yang lebih menggugah untuk berjalan di atas Jalan
Yang Benar.

Disamping Ar-Risalahnya Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul
Auliya'nya, Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut
tareqat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti
ditakdirkan menjadi anggota tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka
percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini.

Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, Martin
menyebutkan bahwa pengamalan tareqat ini di Indonesia dalam banyak kasus lebih
bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang, kalau memang pernah,
bertemu dengan yang lain. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya
membaca secara individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan
diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tareqat ini
mempelajari berbagai hizib, paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin)
yang diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan
tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan
dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tareqat.

Hizb al-Bahr, Hizb Nashor, disamping Hizib al-Hafidzah,
merupaka salah satu Hizib yang sangat terkenal dari as-Syadzilli. Menurut
laporan, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh Nabi SAW. Sendiri. Hizib ini
dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama dugunakan untuk melindungi
selama dalam perjalanan. Ibnu Batutah menggunakan doa-doa tersebut selama
perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. Dan di Indonesia, dimana doa
ini diamalkan secara luas, secara umum dipercaya bahwa kegunaan megis doa ini
hanya dapat "dibeli" dengan berpuasa atau pengekangn diri yang liannya dibawah
bimbingan guru.

Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah, di Indonesia, juga
dipergunakan oleh anggota tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan
(Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandegelang, yang
dikaitkan dengan tareqat Rifa'iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan
tareqat Qadiriyah.

Para ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana,
ia secara kebaktian tidak begitu mendalam; ia lebih merupakan mantera megis
yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A'zhim) dan, apabila dilantunkan
secara benar, akan mengalirkan berkan dan menjamin respon supra natural.
Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dana doa, para syekh tareqat biasnya tidak
keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid dalam tareqat
dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi mereka
tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa wewenang, sebab murid
tersebut sedang mengikuti suaru pelatihan dari sang guru.

Tareqat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam.
Sekarang tareqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania
Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di
Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran
tareqat ini, tareqat ini mempunyai beberapa cabang, yakitu: al-Qasimiyyah, al-
madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah, al-Qauqajiyyah,
al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah,
al-Faisiyyah dan al- Hasyimiyyah.

Yang menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru
kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan
ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa
belaka, melainkan juga mengandung doktrin sufistik yang sangat dahsyat.

Di antara Ucapan Abul Hasan asy-Syadzili:

Pengelihatan akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan takkan meninggalkan
aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku memohon kepada
Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian sebuah suara
memanggilku, katanya " Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon
kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan Dia. Namun
memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya."Maka akupun memohon
kekuatan dari Dia pun membuatku kuat, segala puji bagi Tuhan!
Aku pesan oleh guruku (Abdus Salam ibn Masyisy ra): "Jangan anda
melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkn keridhoan Allah,
dan jangan duduk dimajelis kecuali yang aman dari murka Allah. Jangan
bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan
memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah."

Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau
usaha ihtiar sendiri.
Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat
kebutuhanmu. Dengan demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus
menjadi tujuan dari doamu adalah untuk bermunajat kepada Allah yang
memeliharamu dari-Nya.
Seorang arif adalah orang yang megetahui rahasia-rahasia karunia Allah di
dalam berbagai macam bala' yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui
kesalahan-kesalahannya didalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya.
Sedikit amal dengan mengakui karunia Allah, lebih baik dari banyak amal
dengan terus merasa kurang beramal.
Andaikan Allah membuka nur (cahaya) seorang mu'min yang berbuat dosa,
niscaya ini akan memenuhi antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya
menjelaskan : "Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia
akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah SWT.

Kairo 18 April 2006
Musim panas menjelang

Tidak ada komentar: