Sabtu, 28 Februari 2009

HIKAM

Hikmah Hikam

Dalam
kolom ini, insyaallah kami akan membahas kitab hikam karya Ibnu
‘Athai’llah as-Sakandari. Sebelum memasuki pembahasan, kami akan
coba mengenalkan kepada pembaca tentang sosok daripada sohib
al-Hikam tersebut.

Bukanlah
hal yang mudah untuk mengetahui riwayat hidup Ibnu ‘Athailllah
as-Sakandari secara detail. Hal itu disebabkan karena jarangnya
referensi yang menuturkan tentang riwayat hidup beliau. Kalaupun ada,
itu sangat singkat dan kurang bisa mendeskripsikan sosok beliau
secara jelas.

Nama
beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin ‘Athaillah
as-Sakandari, mempunyai beberapa nama julukan seperti Tajuddin,
Turjuman al-’Arifin, dan Abu al-Fadhl. Beliau
dilahirkan di kota Iskandariyah (Mesir) tanpa diketahui secara pasti
tahun kelahirannya. Sebagian sejarahwan memperkirakan tahun kelahiran
beliau antara tahun 658 H sampai 679 H. dan mereka sepakat bahwa
beliau wafat di Cairo pada tahun 709 H kecuali Imam Sya’rani
mengatakan tahun 707 H. tapi pendapat pertama lebih kuat. Pada masa
itu pemerintahan Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik al-Bahriyah
pengganti dinasti Sholahuddin al-Ayyubi.

Beliau
seorang fakih bermadzhab Maliki, dan juga sufi;
pengikut Tarekat as-Syadziliyah yang didirikan oleh Abu Hasan
as-Syadzili. Pada mulanya beliau termasuk orang yang mengingkari
tasawuf karena terlalu fanatik terhadap ilmu fikih. Tapi kemudian
hilang keingkaran beliau terhadap tasawuf dan masuk dalam jajaran
kaum sufi setelah bersuhbah; berguru kepada Abu Abbas al-Mursi
(Murid kesayangan Abu Hasan as-Syadzili).

Setelah
wafatnya Abu Abbas al-Mursi tahun 686 H, beliaulah pewaris ilmunya
dan pembawa tongkat estafet perjuangan da’wahnya. Dalam da’wahnya
beliau sempat mengajar di Masjid al-Azhar; mengajarkan ilmu dhahir
dan batin. Dalam kitab “al-Nujum al-Zahirah” disebutkan bahwa
majlis Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari selalu ramai, karena untaian
kata yang keluar dari beliau sangat indah dan melenturkan hati yang
keras. Banyak orang yang bertaubat kepada Allah swt karena nasehat
beliau, dan banyak pula orang yang jelek akhlaknya menjadi baik
karena bimbingan beliau.

Cukuplah
sebagai bukti ketinggian ilmu beliau bahwa Taqiyuddin as-Subki yang
wafat 756 H adalah salah satu dari murid beliau yang terkenal
keilmuannya, sehinggan Ibnu Taimiyah hormat dan sering memuji
karya-karyanya. Taqiyuddin as-Subki adalah ayah dari Tajuddin
as-Subki pengarang kitab Thobaqat as-Syafi’iyah al-Kubra
(wafat 771 H). Selain Taqiyuddin as-Subki, banyak murid beliau yang
jadi ulama’ besar, seperti Abu Hasan Ali al-Qorofi dan Dawud bin
Umar bin Ibrahim as-Syadzili yang dikenal dengan nama Ibnu Bakhola.

Ibnu
‘Athoillah as-Sakandari adalah seorang tokoh terpenting dalam
lingkaran mata rantai tareqat as-Syadziliyah. karena tokoh utama
dalam tareqat as-Syadziliyah; Abu Hasan as-Syadzili tidak
meninggalkan buah karya, begitu pula khalifahnya; Abu Abbas al-Mursi.
Dari tangan Ibnu ‘Athoilllahlah muncul buah karya yang bermanfa’at
bagi kita pada umumnya dan bagi salik tareqat as-Syadziliyah
pada khususnya.

Karya-karya
beliau, dilihat dari segi tema dan tujuan sangat beragam, lebih
dari 22 kitab. Ada karya tentang sastra, fikih, nahwu, mantiq,
filsafat dan juga tasawuf. Adapun karya-karya beliau yang terkenal
adalah kitab Hikam al-’Athoiyah—insyaallah
akan kita bahas dalam kolom ini— Selain itu juga ada kitab
at-Tanwir fi Isqot at-Tadbir, Latha’if al-Minan, Miftah al-Falah
dan lain-lain.

Tentang
Kriteria ke-Tasawuf-an beliau. Syekh Ibnu “Atho adalah pembela
Tasawuf Sunni melalui madrasah Tarekat As-Sadziliyah, murni dari
ide-ide filsapat yang menyesatkan dan bersih dari keteterlibatan ke
dalam faham wihdatul-wujud, hulul dan Ittihad. Hal ini
dapat dibuktikan dengan merjuk dan membaca seluruh karya- karyanya.

Dapat
dikatakan dengan pasti, bahwa beliau pengkibar bendera Tasawuf Islam
SunniAmali, murobi generasi ke 3 dari murobi Tasawuf Amali Tarekat
as-Sadziliyah (setelah pendirinya Imam Sydzili dan Imam Abu
al-Abbas al-Mursy) yang mempunyai tujuan awwalan wa akhiran
mendidik moral dan tarbiyah ruhiyah (spritual).

Adapun
kriteria kitab al-Hikam sebagai sebuah karya sufi, ia betul-betul
mempunya ciri jelas yaitu: (1) bersifat “Simbolis” dimana
al-Hikam dalam mengungkapkan kandungannya menggunakan istilah-istilah
kaum sufi, (2) meskipun tanpa menyertakan dalil-dalil ayat dan
Hadis, namun seluruh kandungan al-Hikam telah teruji tidak
bertentangan dengan Alqur’an dan Sunnah, (3) memiliki arti
ganda, keuntungan lingual dimana ia diungkap ke dalam bahasa
singkat-padat dan keuntungan analisa dan pendalaman makna yang
ditangkap melalui simbolis-simbolis tersebut, (4) secara umum redaksi
al-Hikam dalam bentuk nasehat yang diarahkan kepada para murid
tarbiyah Tasawuf, (5) ungkapan (khatarat) pengalaman dan intuisi yang
terlintas dalam dirinya tidak direnung2kan dan dibuat-buat

Jumlah
hikmah itu sebanyak 264 hikmah selain surat-menyurat untuk para
ikhwan dan munajat beliau.



HIKMAH
1


“Merupakan satu ciri ketergantungan
kepada amal (aktifitas) - rendahnya rasa harap (kepada Allah) ketika
muncul ketergelinciran (kesalahan)”.



Interpretasi:

Salah satu ciri bahwa seorang aktifis
berpegangan, bergantung dan cocdong kepada amalnya - yaitu,
melemahnya harapan kepada rahmat Allah swt ketika mengalami
ketergelinciran dan kesalahan pada dirinya.

Hikmah ini tidak berarti anjuran
meninggalkan ibadah, bahkan merupakan satu stimulasi bagi para
pencari kebenaran (insan tarbiyah) agar sungguh-sungguh dalam
melakukan taat dan perbuatan baik, serta meningkatkan semangat untuk
berpegangan kepada karunia Allah saja daripada bergantung kepada
aktifitas yang dilakukannya, sehingga ketika ia melakukan serupa
ketergelinciran atau kekeliruan, harapannya kepada rahmat Allah tidak
pupus dan tidak putus asa mengharap magfirah-NYA.

Allah swt berfirman: “Dan DIA-lah yang
menerima taubat dari hamba-NYA, dan memaafkan kesalahan-keslahan dan
mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. 42:25).

Rasulullah bersabda: “Tidak
sekali-kali seseorang itu masuk surga karena amalnya, mereka
(sahabat) bertanya: juga engkau ya RAsulullah..?, Nabi saw menjawab:
tidak juga aku, melainkan Allah telah melindungiku dengan
rahmat-NYA”. HR. Bukhari - Muslim.

Maka jika seorang insan tarbiyah mengalami
krisis harapan dan keputus asaan akan rahmat Allah swt, serupa
ampunan (magfirah), limpahan cahaya taubat, perubahan diri kepada
kebaikan dan peningkatan moral-spritual, perlu ditandai bahwa dirinya
termasuk orang-orang yang bergantung kepada amal ibadah atau
aktifitas kebaikan yang dilaukannya, dari pada bergantung kepada
Allah swt Yang Maha Pencipta makhluk dan segala amal perbuatnnya,
termasuk kemampuan dan kekuatan dalam melakukan ketaatan tersebut.
Maka siapa yang bergantung kepada bumi bukan kepada langit berarti
cahaya harapnya telah mati.



HIKMAH
2

“Keinginanmu
untuk ‘Tajrid’ (murni ibadah, taat dan dakwah) sedang Allah swt
mendudukanmu dalam asbab (sibuk dalam urusan dunia perniagaan)
merupakan dorongan halus dari syahwat (nafsu).

Dan keinginanmu pada
‘Asbab’ sedang Allah mendudukanmu dalam Tajrid, merupakan
kemerosotan semangat yang tinggi ”.



Interpretasi:


Maksud
Asbab di sini adalah sesuatu yang berhubungan dengan
tujuan dunia perniagaan yang ingin dicapainya, sebaliknya Tajrid
berkecendrungan hidup semata untuk ibadah, taat dan dakwah.


Oleh karena itu barangsiapa yang telah
dimuliakan Allah swt dalam dunia asbab dan ingin meninggalkannya,
hal itu merupakan keinginan halus syahwatnya. Karena
salah satu bentuk keinginan syahwat bersikap tidak sejalan dan
menyalahi iradah Allah; dikatakan halus karena
ia tidak bermaksud untuk memperoleh keuntungan dunia, namun
untuk taqarrub kepada Allah melalui kondisi yang menurut
dugannya lebih tinggi seperti tajrid, namun ia lupa dan tidak
memberikan etika (adab) yang patut kepada Allah swt melalui posisi
yang didudukinya dan justru ia malah menginginkan kedudukan lebih
tinggi yang sebenarnya tidak sesuai dengan situasi dan kondisi
waktunya.


Sebaliknya, jika dia telah dimuliakan Allah
berada di posisi tajrid, lalu dia berkeinginan untuk terjun ke
dunia Asbab sebagai sarana taqarrub kepada Allah, itu
merupakan kemerosotan sebuah semangat, sikap tidak beradab dan
keberpihakan kepada dorongan syahwat. Karena tajrid adalah
sebuah keududukan tinggi yang diberikan Allah kepada para hamba yang
bertauhid dan mengenal-Nya.


Allah swt menghendaki kita - wahai insan
tarbiyah- untuk tetap menjadi diri kita sendiri; tidak menjadi orang
lain dan beradab, beribadah serta taqarrub apapun posisi dan
kedudukan yang diberikan Allah kepada kita. Seperti kedudukan
penuntut ilmu-ilmu agama wahai mahasiswa Islam Al-Azhar. Camkanlah !!







HIKMAH 3

“Semangat
yang seefektip apapun tidak akan menembus dinding takdir”



Intepretasi


Semangat yang memiliki kekuatan efektipitas
konkrit kepada berbagai hal, tidak akan melewati atau keluar dari
qadla dan qadar Allah swt, yakni semua yang terjadi dampak dari
semangat luar biasa tersebut adalah semata karena iradah Allah swt,
bukan karena kekuatan atau kecepatan efektipitas sebuah semangat luar
biasa itu sendiri.


Demikian itu, karena sebesar apapun
semangat-semangat tadi hanyalah merupakan hukum sebab akibat yang
tidak memiliki efek mutlak, hanya Allah swt sajalah Pemilik Tunggal,
Pencipta semangat dan hukum sebab-akibat itu.


Di dalam hikmah ini
seolah Ibn ‘Athoilah ingin menitip pesan “Wahai manusia!
Berusahalah sesuai dengan berbagai keinginan dan kemampuan anda, cari
hasil yang anda harapkan, lakukan sebab-sebab sesuai dengan porsinya.
Namun ketahuilah sebab yang anda kerjakan itu bagaimanapun canggihnya
menurut anda, ia hanyalah sekedar usaha belaka yang tidak akan
terlaksana jika tidak sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh
Allah Swt.

Perlu diketahui bahwa persoalan natijah,
efek atau hasil itu sama sekali bukan tugas dan syugul
kita, makhluk ini tidak dibebankan (taklif) untuk menciptakan
dan melakukan sebuah hasil. Semua itu masuk ke dalam tugas atau
koridor Kekuasaan Tunggal Yang Maha Pencipta Semua Alam. Makhluk ini
hanya diberikan kekuasaan berbuat, bekerja dan berkarya untuk
melakukan berbagai perubahan hidup menuju kebaikan dan kesempurnaan,
selanjutnya Allah swt sajalah yang memberikan efek, efikasi, otoriti
atau efisiensi mutlak dari semua ambisi aktifitas di atas.


Jika kita telah memahami etika dan aqidah
ini, maka hikmah di atas dapat menjadi sebuah stimulan dan motif kuat
untuk berbuat, bekerja dan berkarya sebaik-baiknya secara maksimal
dan optimal, namun jiwa dan hati ini tidak perlu merasa letih
terbebani oleh hal-hal yang bukan menjadi taklipnya, sehingga tetap
merasa tenang, ithmi,nan dan bahagia apapun kondisinya yang
terjadi. “Arih nafsaka min hadza at-tadbir, fafham”.



HIKMAH
4

“Lepaskan hatimu
dari tadbir (be-ban pengaturan), sesuatu yang ditangani
oleh selainmu (Allah) tentang (urusan) mu jangan engkau bebankan
kepada dirimu sendiri”



Interpretasi


Tadbir, secara etimologi: memandang
sesuatu serta berbagai dampaknya. Adapun Tadbir menurut
etimologi sufi adalah memastikan -bukan
bertawakal- suatu perkara yang diperkirakan terjadi dengan rasa harap
atau cemas.


Dalam hal ini, tadbir itu terbagi tiga: (1)
Tercela. Jika memperkirakan sesuatu disertai rasa kepastian dan
kebulatan baik perkara agama atau dunia. Sikap ini merupakan
Qillatil-adab, serta keletihan yang akan segera diperolehnya;
karena sesuatu yang menjadi penanganan Allah tentang dirimu, maka
tidak dapat engkau tangani sendiri, justru malah akan membuat hidupmu
menjadi sedih dan keruh. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya
Allah membuat rasa rehat (lega) pada sifat ridla dan yakin”.


Imam as-Sadzelai berkata: “Janganlah kamu
sekali-kali menentukan pilihan (mendikte) untuk kepentinganmu,
memilihlah untuk tidak memilih (tawakal dengan pilihan Allah setelah
berupaya maksimal dan optimal) segera lari dari sikap pilih-pilih dan
segala sesuatu kepada Allah swt, karena Allah swt menciptakan dan
memilih menururt kehendak-NYA.


(2). Dianjurkan, yaitu tadbir terhadap
kewajiban yang ditaklifkan dan ketaatan yang dianjurkan dengan penuh
berserah diri kepada kehendak Allah swt serta memandanga kepada
qudrah-NYA. Inilah yang disebut niat yang soleh. Rasulullah saw
bersabda: “Niat seorang mukmin itu lebi baik daripada amalanya”.
Ibrahim bin al-Hawwas berkata: Janganlah kamu memaksakan diri akan
hal-hal telah dijamin untukmu.


(3). Boleh. yaitu Tadbir dalam
urusan dunia dan perkara kehidupan rutinitas, disertai sikap berserah
diri kepada kehendak-NYA dan memandang kekuasaan-NYA tanpa bergantung
kepada sesuatu. Rasulullah saw bersabda: “Tadbit itu separoh
kehidupan”. Wallahu’alam.



HIKMAH 5

“Kesungguhanmu (ijtihad) terhadap hal-hal yang
telah dijamin (oleh Allah), dan kekuranganmu (taqsir) dalam
memenuhi kewajiban terhadap hal-hal yang dituntut (oleh Allah) adalah
merupakan bukti redupnya cahaya hatimu (bashirah)”.



Interpretasi:


Kata Ijtihad dalam sesuatu adalah upaya sungguh-sungguh dan
maksimal dalam mencari sesuatu, dan kata Taqsir adalah
perbuatan yang tidak sempurna atau banyak kekurangannya, sedangkan
kata Bashirah adalah pandangan hati, seperti halnya kata
bashar pandangan mata.


Karena pandangan mata hati hanya melihat kandungan-kandungan makna,
sesuatu yang lembut, qadim (lama) dan Pencipta alam, sedangkan mata
kepala melihat hal-hal yang dapat diindra saja, yang tampak jelas,
sesuatu yang baharu dan hanya melihat kepada alam semesta saja.


Oleh karena, jika Allah berkehendak membukakan mata hati seorang
hamba, maka Allah akan membuatnya sibuk dalam lahiriyahnya dengan
melakukan berbagai khidmat (dalam hidup) kepada Allah, sedang
bathinnya dipenuhi rasa cinta kepada-NYA. kemudian, jika rasa cinta
dalam jiwa dan bentuk khidmah dalam lahiriyahnya itu semakin
membesar, maka cahaya hatinya semakin kuat sehingga mendominasi
pandangan mata kepalanya, selanjutnya cahaya mata kepala itu perlahan
hilang tenggelam ke dalam cahaya mata hatinya, akhirnya membuat orang
tersebut hanya melihat apa-apa yang dilihat oleh mata hatinya
saja.


Sebaliknya, jika Allah hendak merendahkan seorang hamba, maka dibuat
sibuk lahiriyahnya dalam berkhidmat kepada dunia dan sekaligus sangat
mencintai dalam bathinnya, dan hal ini akan terus demikian sehingga
meredupkan dan mendominasi cahaya mata hatinya, maka setelah itu yang
dilihat dan dilayaninya hanyalah menurut pandangan mata kepalanya
(bukan menurut kata hatinya).


Dalam kondisi seperti ini seseorang itu akan bersusah payah mencari
apa-apa yang sebenarnya telah dijamin dan rezeki yang telah dibagi
oleh Allah swt; dan taqsir (kurang sempurna melakukan kewajiban atau
tidak memenuhinya) dalam hal-hal yang justru dituntut atau diminta
oleh Allah swt, yaitu kewajiban melakukan ibadah baik berbentuk
ibadah murni (ibadah khusus) atau aktifitas hidup ini sebagai ibadah
umum.


Allah swt berfirman: “Perintahkan keluargamu melakukan shalat dan
bersabarlah atasnya, Kami tidak menanyakanmu (membebankan) akan
rezekinya, Kamilah yang memberikan rezekimu”. (QS. Thah:132).


Maksudnya: laksanakanlah semua sebagai tanda khidmah kepada-KU, dan
AKU-lah yang akan melaksanakan dua hal untukmu: (1) sesuatu yang
telah dijamin untukmu, maka janganlah kamu meragukan-nya. (2) Sesuatu
yang diminta atau dituntut darimu, maka janganlah kamu lalaikan. Maka
barangsiapa yang menyibukan dirinya dengan sesuatu yang telah dijamin
dan melupakan sesuatu yang dituntunya, berarti ia seorang yang sangat
bodoh dan lalai.


Betul apa yang dikatakan oleh Sykeh Ibrahim al-Khawas: bahwa seluruh
ilmu itu hanya terdapat dalam dua kata: (1) Janganlah kamu
menyusahkan diri dalam hal yang telah dicukupi, dan (2) jangan
menyia-nyiakan apa-apa yang telah dituntut.



HIKMAH 6

“Janganlah
tertundanya uluran pemberian Allah, padahal (engkau)
bersungguh-sungguh dalam berdo’a menyebabkan keputus asaanmu,
karena Allah telah menjaminmu pengkabulan (ijabah) doa dalam hal-hal
yang Allah pilihkan untukmu bukan yang engkau pilih untuk dirimu dan
di waktu yang Allah pilih bukan waktu yang engkau pilih”



Interpretasi


Janganlah tertundanya waktu pemberian
(Allah) yang engkau inginkan, disebabkan engkau telah
bersungguh-sungguh & terus-menerus berdoa, membuatmu berputus asa
terhadap pengabulan do’amu. Karena sebenarnya Allah swt telah
menjamin do’amu dengan Ijabah, firman-NYA: “Berdoalah Aku akan
mengabulkan untukmu” dan “Aku memenuhi do’a orang yang
berdoa ketika ia berdo’a”.


Namun hal itu menurut pilihan-NYA, bukan
menurut yang engkau pilih sendiri. Sebab Allah lebih mnegetahui
apa-apa yang menjadi kemaslahatanmu, boleh jadi engkau meminta
sesuatu dan dicegahnya adalah merupakan kebaikan bagimu, maka
pencegahan itu justru sebuah pemberian atau pengkabulan. Allah
berfiman: “Boleh jadi engkau tidak menyukai sesuatu padahal ia
lebih baik untukmu, dan boleh jadi engkau menyukainya padahal ia
buruk untukmu, Allah Maha Mengetahui sedang engkau tidak mengetahui”.


Demikian, Allah telah menjaminmu Ijabah
menurut waktu yang dipilihkanNYA, bukan waktu yang engkau pilih
sendiri. Firman-Nya (Hadis Qudsy): “Hambaku, taatilah semua
perintahKU, dan janganlah engkau mengajari-KU (mendikte) apa-apa yang
menjadi kemaslahatanmu”.


Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah
seorang berdo’a, melainkan Allah mengabulkan do’anya, atau
diselamatkan dari satu keburukan atau digugurkan (ampun) sebagian
dosanya selama tidak berdoa untuk dosa atau memutuskan silaturahim”.


Firman-NYA: “Dan Tuhan-mulah yang
menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya sendiri,
sekali-kali tiada ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha
Tinggi dari apa yang mereka persekutukan”.QS. 28:68.



HIKMAH 7

“Tidaklah
membuatmu ragu dalam janji (Allah) karena tidak terjadi sesuatu yang
dijanjikan, meskipun waktunya telah ditentukan, agar hal itu tidak
menjadi kecacatan mata hatimu dan memadamkan cahaya lubuk hatimu ”



Interpretasi:


Allah SWT tidak akan menyalahi janji,
sesuatu yang telah Allah janjikan meskipun waktunya ditentukan
kemudian tidak ter-laksana janji tersebut, janganlah membuatmu
menjadi ragu dalam kebenaran janji-NYA; karena boleh jadi janji
tersebut masih tergantung kepada beberapa sebab dan syarat-syarat
tertentu, Allah memberikan efektivitas terhadap aktifitas sebab-sebab
tersebut, maka seorang hamba hanya harus mengakui takdir Allah ,
beradab kepada-NYA, penuh kepercaan total dan ada keraguan serta
tidak goyah keakinan kepada-NYA. Maka barangsiapa yang memiliki sifat
ini ia patut disebut sebagai arif billah (mengenal Tuhannya),
yang selamat mata hati dan bercahaya lubuk hatinya, jika tidak maka
ia sebaliknya.


Karena manusia sebagai hamba tidak akan
mengetahui bilakah Allah akan mengabulkan janji-NYA atau menururnkan
karunia-NYA, sehingga ketika seseorang melihat tanda-tanda ia mengira
bahwa telah tiba saatnya, padahal boleh jadi Allah masih menunggu
terpenuhi syarat dan sebab-sebab tertentu.


Hal ini terjadi pada masa perjanjian damai
udaibiyah, ketika Rasulullah saw menceritakan mimpinya kepada para
sahabat, sehingga mereka mengira bahwa tahun itu mereka akan dapat
masuk Makkah dan melaksanakan umroh dengan aman dan sentosa, (mimpi
beliau terera dalam QS. al-Fathi ayat 27). ketika gagal tujuan umroh
tersebut karena dihalau oleh orang-orang Quraisy dan terjadi penanda
tangan perjanjian Hudaibiyah, sebagaian besar para sahabat tampak
kecewa, maka Umar r.a mengajukan beberapa pertanyaan, dengan penuh
keyakinan yang segar Rasulullah saw menjawab: “Aku hamba Allah
dan Rasul-NYA, sekali-kali Allah tidak akan mengabaikan-ku”.
(lih. QS. 2:214)



HIKMAH 8

“Apabila telah
dibukakan untukmu satu pintu perkenalan (ma’rifat) - maka pada saat
itu janganlah engkau perdulikan menurunnya amalmu, karena tidaklah Ia
membukakannya melainkan Dia ingin memperkenlan diri kepadamu,
tidakkah kau tahu bahwa perkenalan itu datang daripada-NYa, sedangkan
amal itu engkau yang menghadiahkannya kepada-NYA, di manakah letak
perbanding-an (apakah sama) antara hadiahmu dengan pemberian-NYA
kepadamu”.



Interpretasi


Wahai insan tarbiyah, Allah Maha Pembuka
dan Maha Tahu, jika Allah membukakanmu satu pintu untuk mengenal-NYA,
seperti datangnya musibah, sakit dan kesusahan -maka ketahuilah hal
itu satu sebab untuk ma’rifat kepada Allah melalui sifat-sifatnya,
seperti Maha Lembut, Maha Perkasa, Maha kasih dan lain-lain- maka
jangnlah perduli karena menurun atau berkurang amalmu pada saat itu,
karena Allah swt berfirman dalam Hadis Qudsyi: “Jika Aku
menguji hamba-KU yang mukmin dengan satu cobaan, kemudian ia bersabar
dan tidak mengeluhkan-KU kepada para penjenguknya, maka Aku ganti
dagingnya dengan daging yang lebih baik dan darah dengan yang lebih
baik, jika Aku bebaskan (dari penyakit), maka Aku bebaskan dan tidak
ada dosa padanya, jika Aku wafatkan maka ia akan menuju Rahmat-KU”.
HR. Malik ra.


Yang disapa oleh Hadis di atas tentunya
adalah seorang yang memliki kesadaran hati dengan dzikir kepada Allah
ketika ia ditimpa berbagai musibah dan cobaan -bukan seorang gafil
(lalai) yang murka dan berkeluh kesah terhadap musibah-. Sudah pasti
bahwa musibah tersebut akan menghambat amal ibadah sehingga menurun
(secara kwantitas), maka pada saat itu jangan terlalu dipikirkan
kehilangan amalan fisik tersebut, karena itu hanya sebuah sarana
untuk (meningkatkan) amalan hati. Berbahagialah wahai insan tarbiyah
ketika datang perkenalan Yang Maha Perkasa (Jalal) dan Musibah Yang
Maha Pemaksa (Qahhar). Karena amalan sedikit bersama ma’rifat itu
lebih baik dari amalan banyak tanpa ma’rifat.



HIKMAH 9

“Beraneka-macam
jenis amal perbuatan, disebabkan bermacam-macam lintasan dalam
kondisi jiwanya”.



Interpretasi


Banyaknya -secara
kwanti-tas- aktifitas fisik itu disebabkan banyaknya -secara
kwalitas- aktifitas spritual seseorang. karena bisikan, atau sesuatu
yang datang ke dalam hati, jiwa dan ruh seseorang ada serupa lintasan
kegelapan dan lintasan cahaya kebenaran. Berarti aktifitas fisik
mengikut kepada kondisi hatinya. Banyak dan kuatnya kondisi
atau aktifitas yang terdapat di dalam hati seseorang, sekuat itu pula
aktifitas yang dilahirkan oleh fisiknya.

Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya
ada segumpal daging di dalam fisik, jika baik maka baik pula seluruh
(aktifitas) fisik itu, jika buruk, maka buruk seluruh fisiknya,
ketahuilah ia adalah qalbu”.

Itu sebabnya, pada fenomena kesalehan umat
ini berbeda-beda, ada yang disebut ahli Zuhud, wara’, dan ‘Arif
billah. dll.

Dalam hal ini Syekh Zarruk dalam Qaidahnya
berkata: Tidak harus perbedaan cara menunjukan perbedaan tujuan,
bahkan boleh jadi sama dan satu tujuan meskipun caranya berbeda,
seperti, ibadah, zuhud, dan ma’rifat adalah merupakan cara-cara
untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun semuanya tumpang tindih,
maka seorang yang disebut ‘Arif billah harus memiliki ibadah dan
sifat zuhud, jika tidak maka kema’rifatannya tidak berarti apa-apa,
seorang ‘Abid (ahli Ibadah) harus memiliki kema’rifatan dan
zuhud, karena tidak sempurna ibadah tersebut tanpa dua hal di atas,
demikianlah giliran seorang Zahid, tidak ada zuhud tanpa adanya
ma’rifat dan ibadah, karena hal itu dianggap sebagai seorang
penganggur atau perusak. Maka barangsiapa yang lebih dominan amal
fisiknya disebut ahli Ibadah, atau lebih dominan kebersihan hatinya
dalam hal tidak bergantung kepada dunia, disebut Zahid, demikian jika
menyaksikan kehidupan ini adalah sebuah penanganan Allah maka ia
disebut ‘Arif billah. Namun ketiga-tiganya disebut Sufi”.



HIKMAH 10

“Amal
perbuatan itu umpama sebentuk kerangka, sedang ruhnya adalah adanya
inti keikhlasan di dalamnya”.



Interpretasi


Semua aktifitas
kehidupan muslim itu umpama bayang-bayang dan kerangka tubuh, sedang
ruhnya adalah keikhlasan. Sebagaimana kerangka tersebut tidak
berdiri tanpa adanya ruh, jika tidak ia akan menjadi sebuah bangkai
yang rapuh, demikian halnya, aktifitas fisik dan qalbu itu tidak akan
terjadi melainkan dengan adanya keikhlasan di dalamnya, jika tidak ia
hanya sebuah kerangka dan bayangan yang kosong tanpa faedah.

Allah SWT berfirman: “Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus,”.
(QS. 98:5) dan: “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan
keta’atan kepada-Nya”. (QS. Azzumar:2).

Ikhlas terdiri atas tiga tahapan: (1)
Ikhlas awam. yaitu, berbuat karena Allah semata, namun masih
menginginkan bagian dunia dan akhirat, seperti kesehatan dan kekeyaan
juga kemegahan di surga; (2) Ikhlas Khusus. yaitu, hanya menginginkan
bagian akherat tanpa memperdulikan bagiannya di dunia; (3) Ikhlas
khawasul khawas. yaitu, melepaskan seluruh keinginan atau bagian
kesenangan serta balasan dunia dan akherat, persembahan mereka
semata-mata hanya untuk merealisasikan ubudiyah sekaligus
melaksanakan hak dan perintah Ke-Tuhanan (Rububiyah).

Sebagian para murabi Tasawuf berkata:
“Perbaiki amalmu dengan keikhlasan, dan murnikan keikhlasanmu
dengan melepaskan diri dari segala daya dan kekuatan”.

Amal pertama: “Iyyaka na’budu”
adalah amal lillah (upaya hamba dalam menyembah Allah), kedua:
“Iyyaka nasta’in” adalah amal billah (penanganan Allah dalam
beribadah, hal ini dampak dari mujahadah). karena tidak ada daya
dan kekuatan kecuali dari Allah swt.

Itu sebabnya Ibnu Faridl melantunkan sebuah
syair: “Tidaklah aku meminta surga karena kenikmatan-nya.
Melainkan aku menginginkan surga karena ingin melihat-MU”.
inilah inti keikhlasan, yaitu pemurnian Tauhid dalam seluruh
aktifitas hidup.



HIKMAH
11

“Pendamlah
dirimu di tanah persembunyian, karena sesuatu yang tumbuh tanpa
ditanam maka buahnya tidak sempurna ”.



Interpretasi:

Sebagai pemula dalam menekuni suatu bidang,
hendaklah dimulai dengan melakukan pendalaman terlebih dahulu, tidak
tergesa dan berambisi untuk masyhur dan populer, karena ia
sebuah penyakit moral sosial. demikian halnya dalam ibadah kepada
Allah, hendaklah melakukannya dengan ikhlas. untuk memperoleh sifat
ikhlas, ia harus menanamkan sifat itu dalam dirinya melalui proses
tarbiyah. Dalam perjalanan tarbiyah, seorang insan tarbiyah (murid)
sejak awal harus melakukan latihan. Salah satu langkah tarbiyah
adalah seperti kandungan dalam hikmah ini.


Tidak ada sesuatu yang lebih berbahaya bagi
insan tarbiyah dari pada cinta populeritas, karena hal itu merupakan
penyakit nafsu yang harus diperangi. Maka kuburlah dirimu seperti
mengubur mayat dalam tanah dan tidak berinteraksi dengan motif-motif
populeritas, karena cara penyembunyian ini dapat membantu menanamkan
sifat ikhlas. Dan pada hakikatnya cinta populeritas, justru menjadi
sebuah hambatan populeritas itu sendiri.


Cinta populeritas adalah lawan dari sifat
Ikhlas dan tawadlu. Apabila seseorang masuk dalam tarbiyah ruhiyah
setelah menjadi seorang yang populer, ia akan mengalami kesulitan dan
kontradiksi dengan ubudiyah yang menuntut kemurnian ikhlas dan
tawadlu. Ibrahim bin Adham ra. berkata: Allah tidak membenarkan
seorang yang cinta populeritas. dan Imam Sahal ra ketika ditanya:
Apakah sesuati yang paling berat bagi nafsu, beliau menjawab: Ihklas,
karena ia sebuah kemurnian yang tidak mengingini sesuatu.


Seorang berkata kepada Bisyr bin
al-Harits: nasehatilah aku, ia berkata: Simpanlah nama baikmu,
perbaiki makananmu. Dalam kesempatan lain beliau berkata: Seorang
yang senang dikenal dan puji orang tidak akan merasakan manisnya
aktifitas ukhrawi.


Umpama sebuah pohon, jika akarnya tidak
dalam terpendam ke tanah, maka buahnya kurang sempurna. Demikian,
Ibadah kepada Allah, tidak akan membuahkan apa-apa tanpa adanya
ke-Ikhlasan, maka pendamlah dirimu dalam tanah persembunyian (khumul)
untuk mencapai keikhlasan.



HIKMAH 12

“Tidak
ada sesuatu yang memberi manfaat kepada hati sebagaimana Uzlah untuk
memasuki medan tafakur”



Interpretasi

Perbedaan
hikmah ini dengan yang sebelumnya ada pada interaksi seorang murid
dengan lingkungan sosialnya. Kalau dalam hikmah sebelumnya diajarkan
untuk memilih tidak dikenal dari masyarakat, maka dalam hikmah kali
ini dia diajarkan untuk mengasingkan diri, dan ini lebih spesifik
lagi dibanding yang pertama. Dan keduanya ini harus dilakukan
seseorang yang tengah mengikuti manhaj tarbawi.

Lafadz
uzlah disitu tidak berarti mutlak harus mengasingkan diri dari
dunia dengan lari ke gua-gua atau menghindarkan diri dari interaksi
dengan sesama manusia karena hal ini jelas bertentangan dengan fitrah
manusia normal. Karena inilah Ibn Athoillah menggunakan lafadz
nakirah, yang berarti lebih umum cakupan maknanya dari
ma’rifah.

Uzlah
yang diajarkan beliau adalah kondisi yang
digunakan seorang murid dalam memikirkan hal yang berguna bagi
manusia untuk mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Ini bisa terbaca
dalam paruh kedua dari hikmah diatas. Ini bisa berupa membaca Al
Qur’an dengan meresapi maknanya, atau membaca sejarah Rasulullah
Saw atau bisa juga dengan proses evaluasi diri perjalanan hidupnya
yang kemudian bisa membangkitkan semangatnya untuk berbuat baik lebih
banyak lagi. Ini adalah bentuk dari uzlah yang dimaksud.

Contoh
konkretnya adalah yang dikerjakan Rasulullah Saw sendiri, sebelum
turun wahyu beliau sering uzlah ke gua hira untuk munajat
kepada Allah, tapi setelah turun wahyu apakah beliau menghentikan
uzlahnya itu? Jawabannya adalah tidak, uzlah tetap
beliau kerjakan namun dalam bentuk lain. Uzlah beliau setelah
turun wahyu tidak lagi di gua hira, tapi lewat tahajud yang beliau
lakukan tiap malam.

Kesimpulan
hikmah ini adalah bahwa kita diajarkan untuk senantiasa khalwat
dalam segala kondisi, artinya tidak berpihak kepada mahluk, melainkan
kepada Khaliq, yaitu konek kepada Allah tetap tersambung di lini
manapun kita berada,bukan hanya di tempat sepi atau jauh dari
keramaian manusia.



HIKMAH
13

“Bagaimana
hati bisa bersinar kalau bayang-bayang dunia terkesan di dalamnya?,
bagaimana seseorang akan kembali kepada Allah sementara dia
terbelenggu dengan syahwatnya?, bagaimana dia berharap masuk dalam
bimbingan Allah, sementara dia belum membersihkan dirinya dari
kotoran kelalaian?, dan bagaimana dapat memahami rahasia-rahasia
kecil, sementara dia belum bertobat dari dosa-dosanya”.



Interpretasi

Bertemunya
dua hal yang paradoksal seperti diam dan bergerak, terang dan gelap,
adalah sesuatu yang mustahil. Sama halnya dengan hati yang dipenuhi
cahaya keimanan akan kontras dengan kegelapan yang diselimuti
debu-debu dunia. Kembali kepada Allah, dengan menghentikan ruang
gerak nafsu akan bertentangan dengan tuntutan nafsu itu. Begitu juga
untuk memasuki tuntunan Allah yang menuntut kebersihan jiwa dan
menjauhkan diri larangan-laranganNya tidak akan sesuai dengan
kehendak nafsu itu. Dan untuk memahami rahasia-rahasiaNya yang samar,
yang hanya bisa dicapai dengan kadar ketakwaan yang tinggi akan
bertentangan pula dengan nafsu yang cenderung ingin melakukan
maksiat, dalam hal yang terakhir ini Allah bersabda: Takwalah kamu
kapada Allah, maka Allah akan mengajarimu!.

Dalam sebuah hadits disebutkan:”barangsiapa
yang beramal dengan ilmunya maka Allah akan memberinya ilmu yang
tidak dia ketahui”.

Abu Sulaiman, gurunya Imam Ahmad bin Hanbal
pernah berkata: “tatkala nafsu sudah terbelenggu dari perbuatan
maksiat, maka ia akan menjadi jernih dan akan mendatangkan hikmah
dengan sendirinya tanpa bimbingan guru”. Ucapan Abu Sulaiman ini
senada dengan Hadits Rasulullah Saw di atas.

Pentingnya melatih nafsu dalam semua sisi
kehidupan manusia ini karena nafsu inilah yang lebih mendominasi
langkah manusia dari pada akalnya. Ini sebagaimana dikatakan oleh
para psikolog bahwa perbuatan manusia 70 % dipengaruhi oleh nafsunya
sedangkan akal budi hanya 30 %. Namun manusia sejak jaman dahulu
lebih banyak menjawab keinginan nafsu dari pada pikiran jernihnya,
padahal sejak dulu pula manusia sudah mengetahui bahaya di balik
dominasi nafsu atas pikiran itu ada bahaya yang mengancam sehingga
metode-metode tarbiah ruhiyah pun sebenarnya sudah ada dari jaman
dulu yang terus berkembang seiring dengan berputarnya jaman.



HIKMAH 14

“Dunia
ini adalah sebuah kegelapan, hanya keberadaan Allah SWT semata lah
yang meneranginya. Barangsiapa yang telah atau ketika atau sebelum
atau sesudah melihatnya namun tidak menyaksikan kebesaranNya disana,
maka dia tidak bisa menangkap adanya sinyal cahaya itu. Dia telah
terhalang dari sinar ma’rifah oleh gumpalan-gumpalan awan”



Interpretasi

Jagad
alam semesta ini tatkala dihubungkan dengan eksistensi Allah SWT,
maka pada hakekatnya adalah sebuah kegelapan, wujudnya Allah lah yang
menerangi kegelapan itu. Ini adalah makna dari firman Allah SWT:
“Allah ( pemberi ) cahaya ( kepada ) langit dan bumi”.

Cahaya
adalah kelapangan jiwa yang ada dalam dada kita berupa makna-makna
hakiki yang melimpah dari anugerah, yang merupakan instrumen qalbu
kita untuk menjelaskan pemahaman menuju Hadirat Yang Maha Mengetahui
terhadap yang tersembunyi. Cahaya sekaligus sebagai instrumen sirr
(rahasia jiwa) untuk menjelaskan pengetahuan menuju Hadirat Yang Maha
Diraja dan Maha Memaksa.

Syeikh
Zaruq menegaskan, siapa pun yang melihat cahaya di qalbunya, ia akan
berjalan di atas instrumen (piranti) pemahamannya. Tetapi siapa yang
melihat cahaya dalam cakrawala sirr-nya ia akan berjalan dengan
instrumen ilmunya (bukan pemahamannya). Dan siapa yang tidak
mendapatkan Cahaya dari Allah, maka ia sama sekali tidak pernah
melihat cahaya mana pun. Karena itu jika Cahaya (Nur) itu merupakan
instrumen kebenaran, maka jangan sampai Nur itu dicampuri dengan
kebatilan. Dan diantara yang batil itu adalah melihat nafsu kita,
baik nafsu itu kurang atau lebih. “Cahaya itu adalah pasukan hati,
sebagaimana kegelapan adalah pasukannya hawa nafsu”.

Banyak
sekali orang yang terpedaya oleh kegelapan atas nama kebenaran, atas
nama Allah, atas nama agama, bahkan atas nama tasawuf, atau atas nama
Ma’rifat. Tipudaya atau ghurur itu bisa dilihat dari dalam batin
kita apakah kita merasakan adanya kepentingan-kepentingan
nafsu dibalik symbol-simbol agung tadi atau tidak.



HIKMAH
15







HIKMAH
SYEHK AL-IMAM YOSSEF AL-BAKHOUR AL-HASANI



1.
“Segala sesuatu yang terjadi di jagad raya ini mengajarkanmu bahwa
engkau berada dalam rahmat Allah swt”



Penjelasan
singkat:


Apa yang kita saksikan
pada diri kita dan alam, positif, atau negatif, dan di inginkan
atau tidak, dalam bentuk bala (musibah) atau nikmat (kesenangan),
semua itu menunjukkan bahwa kita dalam Rahmat Allah dan itu hanya
bisa di lihat dengan bashiroh (mata hati)



2.
“Ringankan, karena memperbanyak beban meletihkan”



Penjelasan
singkat:


Dunia itu beban, halalnya
dihisab, haramnya disiksa, dan mubahnya dicela, maka hendaklah
minimilisir beban kamu dari dunia.



3.
Timbanglah kata-katamu sebelum engkau ucapkan, karena jika kata-kata
telah diucapkan, boleh jadi menimpamu atau menguntungkanmu”



Penjelasan
singkat:


Dalam berbicara manusia
sering di motivasi oleh nafsu, maka sering pula kata-katanya
mencelaka-kannya, karena itu seorang yang mentarbiyah dirinya
hendaknya memperhitung-kan kata-kata yang diucapkannya, harus yang
bermanfaat karena kata-kata yang tidak ada manfaatnya adalah
merupakan kerugian.



4.
“Huriyah (kebebasan) adalah merendahkan dirimu kepada Allah”



Penjelasan
singkat:


Seseorang sering menduga
bahwa kebebasan adalah kebebasan dari segala ikatan agama, moral dan
tauhid, itu adalah pemikiran sesat. justru sebaliknya ia terbelenggu
oleh kotornya materi. Pada hakikatnya makhluk ini tidak akan
keluar atau terlepas dari iradah dan ilmu Allah swt, maka kebebasan
hakiki ia kembali pada hakikat jati dirinya yaitu merendahkan diri
kepad Allah swt melalui Syariah dan akhlak-NYA.





5.
“Jika engkau memandang manusia dengan kacamata syareah, engkau akan
murka kepada mereka, namun jika engkau memandangknya dengan pandangan
hakekat, maka engkau akan menyayangi mereka”.



Penjelasan
singkat:


Jika kita melihat seorang
melakukan kemungkaran dan kita mengukurnya dengan syariat saja, maka
kita akan marah dan merendahkan pelakunya serta murka melihat
kemungkaran itu, tapi jika kita menyaksikan bahwa pelaku ma’siat
itu tengah berada dalam takdir dan Kehendak Allah, maka kita akan
memanjatkan doa untuknya agar Allah SWT mengembalikan dia ke jalan
yang lurus dan taat.

Tidak ada komentar: